Foto : instagram.com/adityaspratama
Menangis Bersama Hujan
Part 43. Dokter Tampan Yang Aneh
By : Risna Adaminata
"Bagaimana hasilnya, Dok?" Tanya Dhiya pada Dokter Disma yang tengah sibuk membaca hasil pemeriksaan medis yang ia pegang sejak tadi.
"Mbak yakin, jika saya ungkapkan hasil catatan ini, Mbak nggak akan marah atau tersinggung?"
"Kenapa saya harus marah? Itu kan hasil pemeriksaan yang pastinya Pak Dokter tahu penyebabnya. Ceritakan saja walaupun itu berat untuk saya terima."
Foto : instagram.com/adityaspratama
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik. Jangan memotong penjelasan saya."
"Oke. Baiklah," Dhiya mengangguk pelan.
Namun kini, raut wajah Disma malah tampak semakin ragu. Ada rasa berat mengganjal di kepalanya. Namun, setelah beberapa menit berpikir, ia mencoba memberanikan diri untuk menatap mata Dhiya. Beberapa kali pemuda berpakaian putih itu menghela napas panjang.
"Untuk pemeriksaan CT Scan (Computerized Tomography Scan, suatu alat pencitraan atau prosedur medis untuk menggambarkan bagian-bagian tubuh tertentu menggunakan bantuan sinar-X khusus.) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging adalah pemeriksaan dengan teknik pengambilan gambar detail organ dari berbagai sudut yang menggunakan medan magnet dan gelombang radio. Metode ini dapat menghasilkan gambar organ yang lebih jelas, termasuk untuk pemeriksaan tumor.) Ada beberapa tulang yang sepertinya bergeser dan tidak rata. Ini kemungkinan karena bekas terbentur saat remaja. Dan beberapa tulang dada seperti tertekan. Ini menyebabkan Mbak sering sesak napas dan nyeri di bagian dada. Karena saat kecil sering mengangkat beban berat, seperti pasir dan batu di atas kepala. Ini menyebabkan tulang dada dan punggung menekan paru-paru.
Foto : dok pribadi
Untuk hasil cek darah, semuanya normal. Kolestrol, gula darah dan asam urat Mbak masih porsi normal. Hanya saja kandungan hemoglobin dalam darah Mbak masih di bawah normal. 9,99 dari 12 sampai 15 yang normal itu lumayan jauh kurangnya.
Kami juga tidak menemukan tanda-tanda positif kanker, tumor maupun kista. Itu untuk pemeriksaan medis fisik.
Akan tetapi, dari pemeriksaan tes kejiwaan dan dokter syaraf, Mbak bukan hanya mengidap fibromyalgia syndrome atau FMS. Tapi juga gangguan jiwa. Dengan kata lain, sakit fisik yang Mbak rasakan itu berasal dari gejala FMS. Yang penyebab semua itu, tak lain karena depresi, stress dan trauma masa lalu. Itu semua gambaran hasil catatan medis Mbak yang saya terima dari petugas rumah sakit."
Dhiya terperangah dengan mulut menganga mendengar semua yang disampaikan dokter di depannya. Ia masih tak percaya dan mengira semua itu adalah mimpi. Di sisi lain ia bahagia karena penyakitnya bukan kanker. Tapi di sisi lain, ia masih tak terima dengan kata-kata Disma yang terasa menghujam jantung.
"G ...gangguan jiwa, Dok?" Tanyanya terbata.
Disma hanya terdiam melihat reaksi shock Dhiya atas kenyataan penyakit yang menggerogoti diri gadis itu.
(Foto : instagram.com/act_elgharantaly)
"Gangguan jiwa yang bagaimana maksudnya, Dok? Apa saya seorang psikopat? Bipolar? Sosiopat? Skizofrenia? PTSD? DID? Tapi saya tidak termasuk kategori gila kan, Dok?" Tanya gadis itu dengan suara bergetar.
"Lebih tepatnya Somatoform (gangguan kejiwaan di mana kita bisa merasakan adanya gejala sakit fisik yang nyata di tubuh kita, namun setelah diperiksakan ke dokter, ternyata tidak ditemukan kelainan secara fisik) dan PTSD (post-traumatic stress disorder atau gangguan stres pascatrauma adalah kondisi kejiwaan yang dipicu oleh kejadian tragis yang pernah dialami atau disaksikan), tapi kenapa Mbak kok tahu banyak tentang macam-macam gangguan kejiwaan?"
"I ...tu, saya pernah membuat karya tulis tentang penyakit kejiwaan. Lalu bagaimana dengan pengobatannya, Dok? Berapa biayanya?"
"Mbak jangan pikirkan halnitu dulu. Sebenarnya pemicu penyakitnya Mbak itu karena Mbak terlalu memikirkan apa yang seharusnya tidak dipikirkan. Kalau tidak salah, Mbak kalau melihat orang kesusahan, Mbak mau bantu tapi Mbak tidak bisa bantu karena tidak punya uang dan tidak punya sesuatu yang bisa diberikan pada orang itu. Lalu Mbak jadi kepikiran siang malam, itu yang membuat bibit stress.
Foto : instagram.com/act_elgharantaly
Supaya tidak bertambah stress. Jangan pikirkan biayanya dulu. Yang penting jalani saja dulu terapinya. Jika ada perubahan signifikan, baru kita akan bicarakan biayanya. Kita mulai terapinya minggu depan saja. Untuk persiapannya, nanti admin yang mengirim pesan di nomor yang Mbak tulis di formulir."
Dhiya mengangguk dengan wajah tertunduk malu. Beberapa saat kemudian ia pamit dan keluar dari ruangan Dokter Disma.
Di perjalanan menuju rumah, Dhiya tak henti-hentinya berpikir tentang dokter yang bisa mendeteksi segala penyakitnya. Bahkan masa lalunya.
"Waah, bagaimana bisa dia membaca semua pikiranku? Membaca semua masa laluku? Bagaimana bisa ia tahu, saat kecil aku sering mengangkat baskom berisikan pasir dan batu untuk dijual pada orang yang bangun rumah di kampung? Bagaimana dia bisa tahu aku suka kepikiran jika nggak bisa bantu orang karena kasihan saat aku tidak punya uang? Apa itu dokter punya indera ke delapan? Punya kapsul waktu? Atau punya alat doraemon yang bisa membaca masa lalu? Oh ya benar, aku juga dengar dia memang lulusan neurologi di Universitas Tokyo. Kalau dia kuliah spesialis 2 tahun, co.ass juga 2 tahun dan kuliah 4 tahun, bukankah itu berarti dia lebih tua dariku? Dan aku memanggilnya bocah? Ah, tapi kok bisa mukanya kayak anak SMA? Apa dia operasi plastik di Jepang? Atau mampir di Korea? Ah, terserahlah. Ngapain juga aku nambah beban pikiran dengan mikirin dia. Dia sendiri bilang padaku untuk jangan mikir lagi. Fokus ke terapi! Semangat! Aku pasti busa sembuh."
"Mbak, lagi mikirin apa? Kok kayaknya pusing benar?" Tanya sopir angkot yang sejak tadi memerhatikan sikap Dhiya yang biasa ramah menyapa.
"Lagi mikirin rakyat, Pak. Ini mau Pemilu, tapi pikirannya nggak ada yang beres, termasuk saya."
"Ha ha! Ya jangan dipikirkan Mbak, nanti bisa stress."
"Iya, Pak. Benar banget. Berasa kayak sampah memenuhi pikiran. Buntek jadinya." Jawab Dhiya berkelakar.