Menangis Bersama Hujan
(Mohon komen krisan,feelnya yaa)
Ransel pinjaman kini telah terisi penuh dengan perlengkapan liburan besok pagi. Mukena, mushaf, jaket, botol air dan beraneka macam snack.
"Baju ganti sama jas ujan belom, Ming. Takutnya Sembalun kadar airnya melimpah ruah. Jadi aku siepin aja kali ya, walaupun berat!"gumam Dhiya mengajak Miming bertukar pikiran.
Miming yang duduk mematung, hanya memandang ransel itu dengan tatapan kosong.
"Kamu takut, ranselnya putus?"
"Meong ..."sahut Miming lemah.
Dhiya berlutut. Mendekatkan wajah ke tubuh Miming.
"Kamu sedih karena aku nggak ngajak liburan? Kan kamu lagi hamil, Ming. Aku takut kamu keguguran. Jalanan Sembalun itu nanjak-nanjak. Meliuk-liuk. Berliku-liku. Terjal. Curam. Banyak jurangnya. Insya Allah nanti kalau kamu udah melahirkan, kita jalan bareng anak-anakmu. Oke! Dont be sad, dong ya!"
Miming memejamkan kedua matanya perlahan. Kucing belang tiga itu seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Jangan ngambek gitu dong, Ming. Sini, aku bacain Alqur'an aja buat dede bayimu, Ming. Biar bayimu jadi anak yang sholeh dan sholeha,"
Dhiya mengelus perut Miming kemudian mengangkatnya perlahan. Meletakkan Miming di pangkuan. Gadis itu mengambil mushaf yang ada di ransel.
Baru membaca setengah surat Maryam, suara sms masuk berkicau di ponsel Dhiya. Gadis itu menyelesaikan bacaannya dan menutup mushaf pemberian sang ayah.
"Met liburan, ya. Sudah saya izinkan ransel saya dipinjam."
"Ternyata Kak Anan sudah laporan ama si Gerandong. Hmmm, parah!"
Dhiya berpikir beberapa menit. Ada keraguan sempat menyapa. Ada ketakutan juga yang menghampiri. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk membalas sms itu.
"Baiklah, kisanak! Trma kasih banyak atas jasa ransel ini. Moga dibls Allah dg segumpal daging qurban. Tapi, ranselnya gak apa2 putus kan?"
"Ganti dong!"
"Gampang, ntar aku carikan jodoh. Oh ya, Rara nanyain situ kemarin. Kapan wisuda? Katanya. Hehe."
"Tanyain balik ya, kenapa dia tanya gitu. Mmgnya dia nungguin ambo? Hoho."
"Wuidiiih! Narsis amat ini makhluk!"gerutu Dhiya seraya memanyunkan bibir sambil lanjut mengetik.
Belum selesai mengetik, balasan kedua datang. Dhiya urung membalas, tapi langsung melihat sms lain yang masuk.
"Atau jgn2 situ yang nungguin ambo. Hehe."
"Idiiiihhh, ogah! Beleeeeekk ujan! Sorry-sorry jek!"sangkal Dhiya dengan sms.
"Wuih keong racun lagi nyanyi,"
Dhiya semakin antusias ditantang perang sms sama Randy. Meskipun gadis itu sudah bersungut kesal sejak tadi. Sudah mencak-mencak marah di depan Miming.
"Kamu lihat kan, Ming. Dia duluan ngajakin perang. Emang niatnya ngajak ribut ini orang. Besok kalau dia datang ke rumah, kamu cakar dia. Oke? Jangan wajahnya tapi. Betisnya aja dikit. Janji?"
Miming hanya diam. Ia mengedipkan matanya yang sudah mengantuk.
Ransel milik Randy menjadi bulan-bulanan kemarahannya. Ia ingin memukul ransel itu, tapi tidak jadi karena teringat wafer sama beberapa snack akan remuk.
***
Di sepanjang perjalanan menuju Surga di Kaki Rinjani alias Sembalun, Dhiya tak henti-hentinya berceloteh. Sebentar bertasbih, sebentar teriak-teriak, kadang-kadang menjerit ketakutan melihat tanjakan yang begitu tinggi. Untung saja Rara tetap sabar menghadapi gadis bertubuh kurus itu.
"Ra, pelan-pelan! Kita belum nikah. Jangan ngebut-ngebut. Itu jurang, kiri kanan!"
"Diem, bawel!"
"Ra, indah banget bukitnya! Hijau. Keren, Ra!"
Rara tak menanggapi lagi. Ia fokus mengendalikan gas dan rem.
"Ra, kabutnya! Dingiiiiiinnn!"
"Dasar, gawah! Di Bandung juga kek gini,"
"Tapi beda dong, Lombok dengan Bandung!"
Tak terasa, setelah ribuan detik mendengar drama Dhiya di atas motor, Rara akhirnya memarkir motor di parkiran Pusuk Sembalun.
Dhiya membentangkan tangan, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Rara hanya tersenyum, menyaksikan tingkah polah sahabatnya.
Mata Dhiya terpaku menatap deretan bukit hijau. Pepohonan dan vegetasi pegunungan. Megahnya tebing-tebing batu dengan kemiringan hampir 90 derajat mengelilingi Sembalun. Dinding batu hasil pembekuan materi lava yang dimuntahkan Gunung Rinjani ratusan tahun lalu.
Di beberapa bagian, tampak lumut dan rerumputan melapisi batuan, menambah pesona keindahan. Udara segar pegunungan memenuhi paru-paru. Sungguh nuansa dan pemandangan alam tropis yang eksotis dan berkesan di hati Dhiya.
Rara mengambil beberapa view indah dengan kamera pocket. Diam-diam ia mengambil foto candid saat sang sahabat masih terpesona melihat alam perbukitan Sembalun. Ketika gadis tomboy itu terlihat takjub.
"Ra, kapan ya kita bisa naik ke puncak Rinjani?"
"Kapan aja boleh, Dhi."
"Banyak bohonglah,"
Rara tertawa ringan mendengar Dhiya berdialek Malaysia. Mereka kemudian bergandengan menuju tempat istirahat yang disiapkan di pinggir jalan.
Minum seteguk air dari botol yang ia bawa, kedua gadis itu menutup rasa haus di antara dingin kabut yang menyelimuti.
Satu persatu isi ransel dikeluarkan Dhiya. Berbagi dengan orang yang ikut duduk di tempat itu.
"Dhi, bukannya itu ranselnya Randy?"tanya Rara tiba-tiba.
Dhiya langsung tersedak. Gadis berjilbab merah bata itu terbatuk. Wafer yang sudah dikunyah, menyembur keluar.
"Biasa aja kali, Dhi! Nggak usah lebay, gitu."
"Ih siapa yang lebay. Gue kurang minum aja kok tadi,"kata Dhiya mengelak.
Ia segera menyambar botol minum di dekatnya. Rara terkekeh dan semakin senang meledek sang sahabat yang terdeteksi sedang menyembunyikan sesuatu tentang ransel milik Randy.
"Jangan telan sama botolnya, Dhi! Minum pakai hati, jangan pakai nafsu."
"Lagian lu, ngapain tanya-tanya ransel?"
"Ya heran aja, kayak pernah lihat dimana gitu. Tapi beneran milik, Randy kan?"
Dhiya tak menjawab. Ia pura-pura sibuk membersihkan bekas serpihan wafer yang terjatuh di rok.
"Ranselku robek. Gue minjam sama Kak Anan. Dipinjemin tasnya si Randy,"
"Oh gitu. Kirain, Randy bawain ente ke rumah,"
"Oh ya, Ra. Lu nggak kagum sama Randy? Kalian kan sama-sama di PMK. Pastinya ada benih-benih rasa gitu."
"Dhi, PMK itu bukan ajang cari jodoh. Bukan ajang cari cinta juga. Di sana kita belajar organisasi. Sama kayak BEM."jawab Rara pelan.
"Iya. Tapi setidaknya, ada yang dijodoh-jodohin sama senior."
"Kalau Randy, itu dulu Dea yang kesemsem. Penghafal Alqur'an, tinggi, putih, suaranya lembut. Dia juga mandiri. Dulu banyak yang klepek-klepek sama dia. Tapi banyak yang minder karena hafalan mereka sedikit."
"Kenapa?"
"Ya secara Randy hafal 30 juz, mereka hafal juz 30 doang!"
"Apalagi gue ya, Ra. Yang hafalannya setengah dari juz 30,"Dhiya menyela.
"Emangnya ente suka sama Randy?"
"Ah, enggaklah! Ngaco aja lu, Ra! Maksud gue, dia hafal 30 juz sedangkan gue juz 30 aja nggak tuntas. Lihat kan, betapa tidak selevelnya kami? Nggak mungkin jodoh. Gue juga mikir-mikir, Ra. Buat suka sama orang yang derajat ketakwaannya tinggi. Dia hafal Alqur'an, lah gue cuma hafal judul drakor. Bermimpi aja gue tak pantas. Apalagi kenyataannya."
"Iya. Tapi kita kan tidak tahu, maunya Allah seperti apa. Kita tidak boleh mendahului takdir. Makanya, tugas kita sekarang adalah memperbaiki diri. Untuk menemukan jodoh. Bukan mencarinya kesana kemari,"
"Mantep dah. Rara is the best waifo!"puji Dhiya seraya bertepuk tangan tanpa suara.
"Biasa aja kali,"
"Eh tapi, Ra. Kalau misalnya, andaikata Randy mengkhitbah, lu mau nggak nikah sama dia?"
"Kenapa?"
"Ya ... gue mau bantu lu buat jadi mak comblang kalian. Biar lu bisa nikah sama Randy. Agar jangan kayak cerita kemarin,"
Rara menyeringai. Menatap Dhiya dengan tatapan menyelidiki. Bak detektif FBI di film-film thriller.
"Kayaknya Randy suka ente, Dhi."tembak Rara seketika.
Ibarat ayam disembelih, hati Dhiya menggelepar. Bibirnya komat-kamit.
"Aih, ngimpi lu, Ra! Memangnya stok akhwat di PMK sudah habis? Nggak mungkinlah, dia suka sama gue!"
Melihat tingkah sang sahabat, Rara tergelak seraya menutup mulut. Ia menahan tawa, mendapati Dhiya terciduk dengan pertanyaannya.
(Foto : instagram.com/risna1214)
*Bersambung
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Informasi Jadwal Lengkap Penerimaan CPNS dan PPPK
(Sumber : Dok. Lembaga Administrasi Negara/LAN) Penerimaan CPNS dan PPPK Tahun 2021 segera di...
-
Foto : instagram.com/adityaspratama Menangis Bersama Hujan Part 43. Dokter Tampan Yang Aneh By : Risna ...
-
(Foto : dok. Pribadi) Cinta Dalam Diam Part 1 Risna Adaminata Pandangannya nelangsa menjurus ke gulungan ...
-
Menangis Bersama Hujan ROAD TO NOVEL Rara terjaga. Ingatan saat ia dihadang preman bersama Dhiya di UI muncul menjadi mimpi buruk. Kering...
No comments:
Post a Comment