Judul : Saputangan
Author : Risna Adaminata
Mohon kritik dan sarannya ya 😊😊
17 Desember 1997
Wajah Adzkiya tiba-tiba pucat melihat seseorang duduk di pinggir jalan yang akan dilewatinya saat olahraga. Ia seperti menyimpan ketakutan yang amat sangat jika dilihat dari raut wajahnya. Padahal jarak orang itu dengannya masih jauh. Hanya saja, gadis 10 tahun itu mengenali orang yang ditakutinya itu dari pakaian yang melekat di tubuh. Tentu saja lari gadis itu semakin lambat dan bahkan menghentikan langkahnya. Hal itu membuat teman-temannya yang tadinya tertinggal jauh di belakang kini melewatinya.
"Kiya, kamu kenapa berhenti? Ayo, lari! Nanti ketinggalan yang lain!" Teriak Azizah ke arah Adzkiya yang masih tampak panik.
Adzkiya membisu, ia mulai memutar otak mencari alasan untuk menghindar.
Gadis kecil dengan muka awut-awutan itu tiba-tiba memegang perutnya seraya meringis kesakitan.
"Aduh! Perutku ... Zah, aku cari sungai dulu ya. Nanti kalau Pak Doni mencariku, bilang kalau aku buang air besar. Aku harus pergi!" Tanpa membuang waktu, Adzkiya segera memutar badannya dan berlari ke arah yang berlawanan dengan teman sekelasnya.
"Aku harus balik lewat mana ini? Kalau harus balik lewat jalur tadi, malah makin jauh. Belum lagi harus lewat sekolah musuh. Ya Allah, bagaimana ini? Kenapa orang mengerikan itu harus ada di sana? Aku benci. Aku tidak sudi melihatnya." Gerutunya sambil terus berlari menjauh dari tempat ia melihat seseorang yang dianggap menakutkan itu.
Sesekali Adzkiya melihat ke belakang karena takut dikejar orang itu.
"Awaaaasss!" Teriak seseorang.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Adzkiya tersungkur ke tengah jalan setelah sebuah sepeda menghantam tubuh kerempengnya.
Si pengendara sepeda pun ikut terpental ke pinggir jalan. Berlawanan arah dengan Adzkiya dan sepedanya yang sudah berbaring di tanah.
Adzkiya tampak mengaduh kesakitan sembari duduk memeriksa siku, lutut dan mata kakinya yang terasa nyeri. Sedangkan bocah laki-laki bertubuh gempal seperti berjuang keras untuk bangun. Ia mencoba melawan bobot tubuhnya yang terasa berat setelah terpelanting ke tumpukan jerami dan ranting kering di pinggir jalan.
"A ... Duh! Ish, kamu kalau naik sepeda, harusnya pakai mata! Biar orang lain tidak celaka!" Bentak gadis itu setelah melihat si pengendara sepeda sepantaran dengannya.
Setelah bangkit dan membersihkan pakaiannya, bocah laki-laki segera mendekati dan memeriksa kondisi korbannya meskipun mendengar kata-kata makian dari bibir gadis itu.
"Tadi aku sudah bunyikan bel. Tapi kamu nggak dengar. Aku sudah pindah ke pinggir saat kamu lari ke tengah jalan. Tiba-tiba kamu hadap belakang lagi sambil berlari ke pinggir jalan."
"Alasan kamu saja!" Sahut Adzkiya masih kesal.
"Aku minta maaf kalau salah. Tapi aku benar-benar tidak sengaja. Kamu nggak apa-apa kan?"
"Itu mata kakiku berdarah!" Bentaknya lagi seraya menunjuk kakinya yang terluka akibat terjatuh tadi.
Melihat luka di kaki Adzkiya, bocah berpipi tembem itu langsung merogoh kantong bajunya. Ia mengeluarkan saputangan. Beberapa saat kemudian ia merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan beberapa lembar plaster luka.
"Kamu tahan sakitnya ya, aku usapin dulu darahnya. Mama selalu bilang untuk bawa plaster. Karena mamaku seorang perawat. Jadi kalau ada temanku yang jatuh dan terluka, aku bisa memberi pertolongan pertama dengan plaster ini." Terangnya sambil meniup kaki Adzkiya.
Perlahan ia mengusap darah yang masih menempel dengan saputangan miliknya. Sesekali saat ia mendengar Adzkiya meringis, ia kembali meniup luka itu untuk mengurangi rasa sakitnya. Setelah kotoran dan darah di kaki gadis itu sudah bersih, bocah itu segera menempelkan plaster di bagian yang terluka tadi.
Tak hanya di kaki, ia juga memeriksa siku Adzkiya yang lecet. Setelah membersihkan debu yang menempel, meniupnya kemudian memberikan plaster juga di siku. Persis seperti perlakuan seorang dokter terhadap pasiennya.
Adzkiya hanya diam mematung tanpa bereaksi apa-apa selain meringis menahan perih di mata kaki dan sikunya. Wajahnya masih ditekuk akibat kesal dengan kelalaian anak laki-laki di depannya. Meskipun ia juga sempat berpikir, kalau dialah yang sebenarnya bersalah.
"Nama kamu Adzkiya kan? Kenapa kamu malah berbalik arah larinya? Bukankah teman-temanmu larinya ke arah sana?"
Gadis kecil itu agak terkejut mendengar namanya disebut bocah itu. Tapi saat ia memperhatikan lamat-lamat wajah anak itu, Adzkiya seperti teringat sesuatu.
"Aku Rofi, kita ketemu waktu cerdas cermat di sekolahku kemarin."
"Oh iya benar. Kamu anak yang katanya dapat 10 nilai matematika di rapot itu kan?"
Rofi mengangguk seraya memamerkan senyum manis di antara pipi bakpau miliknya.
"Terus, kenapa kamu bisa di sini? Bukannya ini masih jam sekolah? Kamu pasti mau bolos?"
"Nggak, tadi aku mau pulang ambil ember. Karena ada pembersihan di sekolah. Disuruh sama pak guru."
Adzkiya tertunduk malu sudah menuduh Rofi yang tidak-tidak.
"Kamu sendiri belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu larinya ke sini, bukan ke sana?"
"Ada orang jahat di sana. Aku tidak ingin melihatnya."
"Tapi teman-teman kamu kok nggak takut?"
"Yang tahu dia jahat cuma aku. Kalau nanti aku bilang sama teman-temanku, dia akan jahat sama teman-temanku juga."
"Apa dia pernah memukulmu?"
"Nggak. Tapi dia selalu menatapku dengan mata melotot. Dia selalu ada di mana aku dan teman-temanku bermain dan menatapku lagi seperti ini." Cerita Adzkiya dengan menirukan cara orang itu memandangnya dengan tatapan tidak wajar.
"Kalau dia tidak memukulmu berarti dia bukan orang jahat."
"Tapi dia sering mengirim salam lewat teman-temanku. Aku tidak suka."
"Kenapa? Bukankah kalau orang besar mengirim salam itu tandanya dia menyukaimu."
"Tapi aku tidak suka. Teman-temanku bilang, kalau ada orang besar yang titip salam. Itu berarti nanti kalau kita lulus SD, dia akan menculik kita dan mengajak kita nikah. Aku tidak mau!"
"Kenapa?"
"Kemarin sekolahku ribut, gara-gara teman kelasku ada yang hampir diperkosa sama temannya orang itu. Temanku diajak pacaran sama orang itu, lalu dibawa jajan sama permen ikut ke kebun jagung. Aku takut orang itu juga akan seperti itu. Aku tidak suka ditatap sama dia. Aku tidak suka dia kirim salam lagi. Aku benci. Benci!"
"Kalau begitu, biar aku antar kamu pulang pakai sepeda itu. Dia tidak akan berani mengganggumu. Karena ada aku."
"Kamu juga masih kecil. Tidak mungkin melawan orang itu. Dia tubuhnya besar. Sudah tamat SD 4 tahun yang lalu. Sepedamu juga tidak muat kalau berdua. Kamu juga harus ambil ember. Nanti kamu dicari sama pak gurumu. Aku pulang lewat sana saja."
"Tapi kakimu terluka. Kalau kamu bisa pakai sepedaku aja pulang."
"Nggak, aku pernah jatuh naik sepeda. Jadi aku juga benci naik sepeda. Aku bisa lari kencang biar cepat sampai di sekolah. Kamu pulang saja pakai sepedamu."
Adzkiya memperbaiki kuncir rambutnya yang terlihat berantakan. Saat ia akan bangun, ia mengeryitkan alisnya melihat dagu Rofi ada bercak merah.
"Dagu kamu berdarah?"
"Nggak, cuma lecet sedikit saja kok. Kalau begitu aku pulang ya. Sampai jumpa." Sahut Rofi sambil bergegas membangunkan sepedanya dan langsung pergi tanpa melihat ke belakang.
"Hei! Saputangan kamu ketinggalan!" Teriak Adzkiya mengingatkan.
Rofi yang sudah memutar di tikungan jalan, tak bisa mendengar teriakan Adzkiya.
"Mungkin dia jijik ada bekas darah di saputangannya. Mungkin dia membuangnya karena ada darah. Atau mungkin, dia ingin aku mencucinya dulu baru dibalikin sama dia?" Gumam Adzkiya menggenggam saputangan hijau muda milik Rofi.
"Dasar gendut. Kalau naik sepeda berdua, bisa pecah ban sepedanya. Pintar matematika tapi malah nggak bisa mikir panjang. Tapi kalau dia kurus sedikit saja, mungkin si Azizah, Zaenab sama Ema bakal heboh di kelas. Secara kan mereka suka membicarakan betapa pintarnya anak itu di sekolah. Nyatanya kemarin saat cerdas cermat malah kalah."
Meski terasa nyeri di kaki, Adzkiya berusaha lari cepat. Namun beberapa langkah, ia berpapasan dengan dua siswa berseragam sama dengan Rofi. Ia mengenali salah satunya.
"Si Rofi kemana sih? Ambil ember lama banget." Gerutu salah satu dari mereka sampai terdengar ke telinga Adzkiya.
"Oh pantesan, si Rofi tadi pergi buru-buru. Dia melihat si Sandi."
"Lho Adzkiya, kok di sini? Bukannya teman-temanmu lari ke sana?"
"Iya, tadi uangku jatuh jadi aku balik lagi untuk mencarinya."
"Oh, kamu lihat si Rofi gembul nggak tadi lewat sini? Yang kemarin ikut cerdas cermat lawan kamu."
"Sepertinya tadi aku lihat dia belok jalan itu."
"Oh, iya. Makasih ya. Berarti dia baru pergi. Dasar gembul, lelet kayak siput!"
"Aku ke sana dulu ya." Kata Adzkiya pamit pada Sandi dan temannya.
Sandi menggangguk. Kemudian kembali ke gerbang sekolah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Informasi Jadwal Lengkap Penerimaan CPNS dan PPPK
(Sumber : Dok. Lembaga Administrasi Negara/LAN) Penerimaan CPNS dan PPPK Tahun 2021 segera di...
-
Foto : instagram.com/adityaspratama Menangis Bersama Hujan Part 43. Dokter Tampan Yang Aneh By : Risna ...
-
(Foto : dok. Pribadi) Cinta Dalam Diam Part 1 Risna Adaminata Pandangannya nelangsa menjurus ke gulungan ...
-
Menangis Bersama Hujan ROAD TO NOVEL Rara terjaga. Ingatan saat ia dihadang preman bersama Dhiya di UI muncul menjadi mimpi buruk. Kering...
No comments:
Post a Comment