Usai acara pelepasan para wisuda dan wisudawati, Rara memeluk Dhiya erat-erat. Ia hampir menumpahkan air matanya di pundak sahabatnya itu. Namun tak sepatah katapun mampu terungkap.
Setelah kedua gadis itu saling mengenalkan keluarga masing-masing, Rara tiba-tiba minta diri. Ia membiarkan Dhiya bercengkrama dengan keluarganya dan memilih pergi ke kantin untuk bicara empat mata dengan Diva.
Setelah menghabiskan 1 porsi nasi goreng dan es jeruk, kedua gadis itu kini berhadap-hadapan dan siap mengutarakan perasaan mereka satu sama lain. Untung saja, kantin masih terlihat lengang dan mereka leluasa memilih kursi di pojokan yang jauh dari tempat lalu lalang mahasiswa lain.
Rara berusaha sekuat tenaga agar terlihat tenang di depan Diva. Namun kadang degup jantungnya laksana gempa bumi berskala tinggi.
Tiba-tiba Diva menatap Rara dengan raut wajah serius. Dingin tanpa ekspresi. Hati Amira sedikit bergidik. Ia mencoba menerka apa yang akan keluar dari lisan sahabat karib barunya itu.
"Ra, aku minta maaf. Jika selama ini merahasiakan orang yang menjadi calon suamiku. Aku hanya ingin kau tidak salah paham. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Dan memutuskan untuk memberitahumu yang sebenarnya,"ungkap Diva tiba-tiba.
Rara menatap gadis bergamis ungu di depannya itu dengan wajah bingung tak berkesudahan. Ia tak bisa menemukan ujung pangkal pengakuan Diva.
"A, apa maksudmu, Va? Kamu jangan membuatku takut. Tentang kamu merahasiakan Hamas, itu nggak pernah jadi masalah buatku. Toh juga sekarang aku sudah tahu,"ujar Rara semakin gusar.
"Masalahnya, karena aku tahu bahwa kau menyukai Hamas dan Hamas juga menyukaimu,"aku Diva seraya tertunduk lesu.
Kini Rata terpana. Mulutnya ternganga mendengar pernyataan Diva. Hatinya bagai disengat kalajengking. Tatapannya kosong. Seluruh rasa menggulung lalu menghempasnya ke tebing curam. Remuk. Sakit. Perih.
"Jadi benar, kau memang tahu dari awal. Apa selama ini kau juga memanfaatkanku untuk mencari tahu informasi tentang Hamas?"lirih Rara dengan tatapan nanar.
"Bukan begitu, Ra. Aku benar-benar tidak memanfaatkanmu. Aku hanya tidak bisa kehilangan Hamas. Makanya ketika aku tahu, Hamas menyukaimu. Aku berusaha melepasnya untukmu, tapi tidak bisa. Aku merasa tidak rela. Dan meminta Tante Hera melamar Hamas untukku pada keluarganya. Kebetulan Tante Hera teman dekat Tante Fani, ibunya Hamas,"mata Diva mulai berkaca-kaca.
Rara yang sudah tertoreh luka sebelumnya, semakin merasa hatinya seperti tercabik burung gagak.
"Aku yang salah, Ra. Aku yang menyebabkanmu bertemu dengan Hamas malam itu. Andai saja aku yang menjemputmu, mungkin kamu tidak akan jatuh cinta pada Hamas. Aku menyesal. Aku minta maaf, Ra. Aku tidak menjemputmu bukan karena tidak diizinkan orang tua, tapi karena aku malas. Aku tidak rela, kamu merebut Hamas dariku hanya karena salahku sendiri."
"Jadi kamu nggak pernah tulus, berteman denganku, Va?"
"Bukan begitu, Ra. Ini hanya masalah Hamas. Sekuat apapun aku berpikir, bahwa kamu mungkin yang terbaik untuk Hamas. Tetap saja aku merasa itu tidak benar. Hamas pemuda kota dari keluarga sukses dan utuh. Sedangkan kamu hanya gadis desa yang tak punya orang tua. Jika kamu kenapa-kenapa nanti saat hamil, melahirkan, siapa yang akan membantumu? Kamu hanya akan menyusahkan keluarga Hamas. Karena tidak mungkin kakak-kakakmu bisa menolongmu. Saat memikirkan semua itu, rasanya aku tetap lebih baik darimu. Itu yang membuatku berpikir, mengembalikan Hamas menjadi milikku seutuhnya,"
Rara semakin tercekat mendengar semua kenyataan yang terurai dari bibir Diva. Ia marah. Kecewa. Sedih. Sungguh, Rara tak pernah menyangka Diva bisa mengatakan hal keji itu padanya.
Rara setengah mati menahan kepedihan dalam dada. Ia merasa benci. Benci dengan dirinya sendiri. Berkali-kali ia mengucap istigfar dalam hati. Amarahnya meletup bagai lumpur panas mendidih yang siap menenggelamkannya dalam rayuan syetan.
"Kenapa Va? Kenapa kau melakukan hal ini padaku? Apa salahku padamu, Va?"Tanya Rara menahan emosinya.
Matanya mulai tampak bertelaga.
"Tidak, Ra. Kamu tidak salah. Dulu ketika SMA, aku dan Hamas pacaran. Tapi kami putus karena dia memilih masuk REMUS, dia tidak mau pacaran. Waktu itu aku tidak mau memakai jilbab besar. Karena aku tidak siap masuk REMUS seperti Hamas. Aku pikir, aku sudah melupakan dia dan mengabaikan ajakannya untuk berubah. Tapi sejak aku tahu, kamu menyukai Hamas. Aku merasa cemburu dan iri,"
Rara ingin sekali menampar Diva karena kekesalannya sudah di ubun-ubun. Tapi air mata Diva membuatnya lemah tak berdaya. Gadis malang itu menelan ludahnya yang terasa pahit di kerongkongan.
"Va, masalah Hamas, tanpa kamu minta aku untuk melepasnya, aku akan melakukannya. Tapi yang paling menyakitkan, ketika kau berpura-pura menjadi sahabatku tanpa sebuah ketulusan. Apa kau pernah benar-benar tulus padaku, Va?"
"Ra, maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya,"
"Benarkah? Aku butuh waktu untuk percaya akan hal itu. Maaf Va, aku tidak bisa berpura-pura baik di hadapanmu untuk saat ini. Aku pergi. Assalamu'alaikum,"ucap Rara dengan suara bergetar.
Rara semakin muak menahan semua amarah yang telah membuncah. Ia tidak tahan lagi. Ia bangkit hendak meninggalkan Diva yang masih tertunduk sesenggukan.
"Ra, tunggu! Aku belum selesai bicara. Jika kamu mau, aku akan meminta Hamas melamarmu setelah kami menikah!"seru Diva lagi tanpa memedulikan suasana di sekitarnya.
Kantin memang belum terlalu ramai. Tapi beberapa orang sempat merasa tidak nyaman dengan teriakan itu.
Rara memejamkan mata. Kejam. Kata-kata itu sungguh kejam baginya. Bagai ribuan jarum beracun serta merta menusuk seluruh persendiannya mendengar tawaran Diva. Gadis itu terus berlalu meninggalkan Diva yang masih tertegun di bangku kantin.
"Bahkan aku ragu kamu benar-benar tulus minta maaf, Va. Kau sudah tahu perasaanku tapi masih saja memaksaku datang. Apa kamu memang ingin membuatku terluka? Kamu sudah membuat luka. Kau tambah garam lalu kau siram lagi dengan cuka dan air cabe. Apa kamu pantas disebut sahabat?"rintih batinnya dengan derai air mata yang tumpah di tengah jalan.
***
Di kantin, seseorang mendekati Diva seraya bertepuk tangan. Seolah mengagumi dan menyanjung perbuatan Diva.
Diva menoleh, ia terbelalak. Dhiya sudah berdiri dengan raut wajah seperti hendak menerkamnya hidup-hidup. Kehadiran Dhiya benar-benar membuat Diva panik dan ketakutan.
"Apa begitu caramu menginjak-injak harga diri Rara? Orang yang selama ini menganggapmu sebagai sahabat?"
"Kita tidak punya urusan, Dhi! Sebaiknya kamu jangan ikut campur,"
Dhiya menyeringai. Tatapan matanya yang tajam membuat Diva semakin gentar. Apalagi saat Dhiya duduk di depannya. Ia bergidik. Bahkan ingin segera lari sejauh-jauhnya dari kantin.
Tiba-tiba Dhiya menggenggam tangan Diva dengan erat. Sangat erat. Sampai Diva terlihat meringis.
Dhiya tersenyum kecut.
"Kamu gemetar? Tentu saja. Karena saat ini, aku ingin menenggelamkanmu di palung Marina. Memberikan tubuhmu dimangsa hiu lapar. Baru aku bisa tenang! Perbuatanmu yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan keinginanmu, itu karena kamu egois. Pikiranmu sempit,"
"Itu karena aku juga manusia biasa, Dhiya!"sahutnya gemetar.
"Bukan, kamu lebih tepatnya srigala berbulu kucing! Jika kamu manusia, bagaimana bisa kamu melakukan hal sekeji itu pada Rara? Hah?!"
Dhiya menahan emosi dan nada suaranya.
"Bukan urusanmu,"sangkalnya.
"Bagaimana bisa ini bukan urusanku! Bahkan kamu jadi provokator agar hubunganku dengan Rara renggang. Kamu melempar tuduhan padaku, agar Rara sibuk berburuk sangka, lalu dengan leluasa merebut Hamas darinya. Kamu manfaatin aku juga, terus bilang bukan urusanku? Apa kamu tidak punya otak?"geram Dhiya.
"Itu karena ... "
"Sudahlah, jangan membuat alasan. Bagaimana bisa kamu membantu Rara, di depannya kamu senyum penuh ketulusan tapi di belakangnya kamu mengatakan dia tidak tau di untung? Sudah dibantu tapi merebut pacarmu? Apa cuma Hamas, Hamas dan Hamas yang hidup di duniamu hingga kamu tidak memikirkan yang lain? Seolah Hamas itu orang yang membuatmu hidup dan mati?"
Diva membisu seribu bahasa. Hanya airmata yang deras mengalir, seolah merasa bersalah dengan apa yang dilakukan pada Rara.
"Sebenarnya, aku iri kamu berteman dengan Rara. Aku ingin kamu yang jadi sahabatku, bukan Rara. Rara cuma gadis kampung tidak pantas berteman denganmu yang ..."
"Cukup! Hentikan omong kosongmu itu Nyonya Diva Tantri Clara! Sekali lagi, kamu bicara seperti itu, aku tidak akan segan-segan menghajarmu. Walaupun kamu cewek. Kamu pikir aku tidak tau bahwa kamu sering menjelek-jelekkanku di depan teman SMA-mu? Membuat kami jadi penjahat dengan tangisan palsumu? Menjadikan dirimu korban? Bahwa aku dan Rara yang merebut Hamas darimu? Dasar egois! Tapi, kali ini aku akan memaafkanmu. Dan ingat baik-baik, kalau sampai terjadi apa-apa pada Rara, sungguh aku tidak akan melepasmu! Camkan itu!"
Dhiya melepas tangan Diva dengan kasar. Kemudian melangkah meninggalkan kantin. Sungguh Dhiya juga berat mengatakan hal itu pada Diva, tapi kejahatan itu harus dimusnahkan dari muka bumi. Dhiya tidak membenci Diva sama sekali. Ia hanya menyesalkan sikap gadis yang sudah Rara anggap sebagai sahabatnya.
Sedangkan Diva yang semakin tersudut, kini menangisi diri sendiri. Rasa bersalah kini telah merajai dan menghukum dirinya.
*
Bersambung
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Informasi Jadwal Lengkap Penerimaan CPNS dan PPPK
(Sumber : Dok. Lembaga Administrasi Negara/LAN) Penerimaan CPNS dan PPPK Tahun 2021 segera di...
-
Foto : instagram.com/adityaspratama Menangis Bersama Hujan Part 43. Dokter Tampan Yang Aneh By : Risna ...
-
(Foto : dok. Pribadi) Cinta Dalam Diam Part 1 Risna Adaminata Pandangannya nelangsa menjurus ke gulungan ...
-
Menangis Bersama Hujan ROAD TO NOVEL Rara terjaga. Ingatan saat ia dihadang preman bersama Dhiya di UI muncul menjadi mimpi buruk. Kering...
Penasaraann.. tp tunggu bnyak part dulu biar gk baper setegah2����
ReplyDeleteSemoga versi bukunya bisa cepat diterbitkan.....aamiin
ReplyDeleteSemoga versi bukunya bisa cepat diterbitkan.....aamiin
ReplyDelete