Thursday, February 28, 2019

Menangis Bersama Hujan (Part 29. Jatuh Cinta Pada Aroma Cendana)

Menangis Bersama Hujan

Risna Adaminata

(Maaf ya kurang panjang...lagi kehabisan waktu..hehe)

Di kebun strawberry, Rara bersama Dhiya masuk setelah membayar tiket. Hati kedua gadis itu bagai menari-nari di atas awan. Menyaksikan buah strawberry yang sudah memerah. Siap untuk dipetik.

Beberapa langkah setelah masuk ke dalam kebun, Rara berpapasan dengan beberapa orang. Indera penciumannya terindikasi mendeteksi sesuatu. Gadis itu mendadak berhenti. Kemudian menoleh ke belakang.

Dhiya yang menyadari Rara tertinggal di belakang menjadi heran. Ia berbalik menghampiri Rara yang terlihat menatap sekelompok orang yang baru saja meninggalkan gerbang.

"Ada apa, say?"

"Dhi, aku seperti merasa pernah mengalami hal itu tadi. Berpapasan dengan seseorang yang memakai parfum aroma cendana dengan orange blossom,"

"Dejavu? Ah, paling juga bau keringat!"tukas Dhiya asal jawab.

"Mana ada orang keringatan pagi-pagi begini,"

"Upss!"Dhiya memukul bibirnya sendiri.

Rara mendelik. Namun pikirannya masih tertaut pada rombongan yang barusan lewat.

"Ra, bau cendana itu kayak gimana? Orange blossom itu kayak bau bunga jeruk ya?"

"Kayak mirip bau cengkeh ama jahe. Itu cendana. Orange blossom ya memang bunga jeruk."

"Mungkin mereka habis makan pakai sayur kuah lombok. Ares. Terus, setelah makan mereka minum es jeruk atau makan buah jeruk. Jadi masih keluar aromanya. Atau jangan-jangan ..."

"Apa Dhi?'

"Mereka keluarga Alm Pak Harto. Keluarga Cendana."

Rara masih penasaran. Ia tidak bisa tenang. Setelah melepas tangan Dhiya, gadis itu berlari keluar mengejar rombongan yang sebagiannya sudah naik bis.

"Pak, orang-orang yang barusan keluar datang dari mana? Maksud saya, alamat mereka di mana?"

"Dari Jepang. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

Rara menoleh ke samping. Seorang lelaki bermasker dengan kepala ditutupi topi bisbol hitam.

Gadis bergamis biru itu terpana. Bukan karena penglihatannya, namun indera penciuman yang kembali tersihir aroma cendana berbaur dengan orange blossom. Dan kini, aroma itu tampak jelas tercium.

Lima detik berlalu. Rara langsung mengalihkan pandangannya.

"Orang ini ... "gumamnya dalam hati.

"Ada apa? Are you okay? Kenapa bertanya tentang kami? Apa ada barang Mbak yang ketinggalan? Atau barang kami yang terjatuh di dalam?"

Rara menggeleng.

"Tidak apa-apa. Saya hanya ingin tahu asalnya dari mana. Itu saja. Maaf. A ... Arigatou!"ujar Rara seraya membungkuk.

Lelaki itu ikut membungkuk. Setelah Rara pergi, lelaki bermasker itu masuk bis. Namun, saat di pintu bis, ia terpaku melihat sosok Dhiya. Entah sejak kapan, gadis berjaket itu berdiri di gerbang, memerhatikan gerak-geriknya dengan seksama.

***

Dhiya memegang pergelangan tangan Rara. Tanpa diminta, ia mengukur denyut nadi sang sahabat yang masih terlihat kliyengan.

"Tensi normal. Denyut jantung, amburadul. Terdeteksi, jatuh cinta akut. Pada penciuman aroma cendana. Bukan pandangan pertama,"celoteh Dhiya menggoda Rara.

Tatapan Rara menyalang ke arah sang sahabat. Ia menarik lengannya dari tangan Dhiya yang sok jadi dokter.

"Mana ada dokter, takut ngelihat jarum suntik. Lihat aja takut, gimana nyuntik orang!"

"Lasingan ngapain lu pake ninggalin gue segala? Ngejer orang yang nggak lu kenal. Buat hati gue terguncyang aja lu,"

"Ane cuma bingung aja, Dhi. Gue kayak inget sesuatu tapi lupa."

"Gue juga kayaknya gitu, Ra. Ada yang gue inget, tapi nggak inget."

"Hmmm, ada yang nggak beres."

"Iya. Memang ada yang nggak beres,"

"Menurutmu?"

"Nggak beresnya itu karena dia itu ..."

"Orang itu kenapa?"

"Orang itu telah ... mencuri hatimu!"

Rara mulai geram. Ia hendak mendaratkan cubitan di lengan Dhiya, namun gadis itu telah lari terbirit-birit menjauh darinya.
*Bersambung
     (Foto : instagram.com/twelve.star)

Tuesday, February 26, 2019

Menangis Bersama Hujan ( Part 28. Terciduk Rasa )

Menangis Bersama Hujan

Puas menikmati suguhan pemandangan dari atas Pusuk Sembalun, Rara mengajak Dhiya turun ke kebun strawberry di area pertanian.

Dhiya menatap Rara yang berjalan dengan begitu anggun. Menggunakan gamis dan jilbab besar. Sedangkan dirinya, meski pakai rok, baju panjang dan jilbab menjulur menutup dada, tetap saja merasa berbeda jauh. Rara yang cantik, putih, padat berisi dan berkulit putih. Sedangkan dirinya kebalikan dari Rara. Hanya saja, tubuh Rara lebih pendek.

"Ra, jika kamu tau yang sebenarnya, apa kamu akan tetap ceria seperti ini saat bersamaku? Untuk menyukai seseorangpun, aku merasa tak berdaya. Mereka tidak akan menerimaku, jika tau kalau aku hanya seonggok tulang berlapis daging, yang sedang menanti kematiannya kapan saja,"bisiknya dalam hati.

Rara sekonyong-konyong menghentikan langkah saat di parkiran. Memicingkan mata karena tidak percaya dengan penglihatannya.

"Bukannya itu Zayyan?"

"Zayyan siapa, Ra?"

"Ketua PMK periode sekarang."

"Oo ..."

Rara terkesiap lagi. Ia melihat sosok yang ia kenal dan baru saja disebut-sebut dalam percakapan dengan Dhiya.

"Itu, Randy! Yang pegang kamera DSLR."

Deg!

Dhiya gelagapan. Kalang kabut. Gugup. Ia langsung mengalihkan pandangan dari sosok Zayyan.

"Ente kenapa, Dhi? Itu Randy di samping Zayyan. Tadi ente sebut-sebut dia. Nggak sekalian kita samperin sekalian? Mumpung dia bawa kamera bagus. Kita numpang foto-foto berdua,"goda Rara semakin menjadi.

"Ya ampuuuun, dasar dodol! Kita cewek, Ra. Nyamperin cowok, ih nggak banget deh! Lu kata kita gadis cabe-cabean! Ogah. Nehi karongge! Aniraguyo! Ayo, cepetan turun deh mendingan!"omel Dhiya senewen.

Rara tak bisa menahan tawa. Sambil tersenyum lucu memakai helm. Sedangkan sahabatnya, terlihat panik dengan wajah bersemu merah.

Dalam hati Dhiya berbisik, "Ngapain juga itu makhluk ghaib datang ke sini? Ngikutin gue kali ya? Hahampreett! Nggak usah mimpi ketinggian kamu, Anindhiya! Si Randy, pujaan para wanita bangsa ngikutin gue? Aduh, mikir sampai jungkir balik juga itu imposibble! Catet, Dhi. Catet!"
(Foto : instagram.com/aiinaahijabbrand)
*Bersambung

Menangis Bersama Hujan (Part 27. Kabut Hati)

Menangis Bersama Hujan

(Mohon komen krisan,feelnya yaa)

Ransel pinjaman kini telah terisi penuh dengan perlengkapan liburan besok pagi. Mukena, mushaf, jaket, botol air dan beraneka macam snack.

"Baju ganti sama jas ujan belom, Ming. Takutnya Sembalun kadar airnya melimpah ruah. Jadi aku siepin aja kali ya, walaupun berat!"gumam Dhiya mengajak Miming bertukar pikiran.

Miming yang duduk mematung, hanya memandang ransel itu dengan tatapan kosong.

"Kamu takut, ranselnya putus?"

"Meong ..."sahut Miming lemah.

Dhiya berlutut. Mendekatkan wajah ke tubuh Miming.

"Kamu sedih karena aku nggak ngajak liburan? Kan kamu lagi hamil, Ming. Aku takut kamu keguguran. Jalanan Sembalun itu nanjak-nanjak. Meliuk-liuk. Berliku-liku. Terjal. Curam. Banyak jurangnya. Insya Allah nanti kalau kamu udah melahirkan, kita jalan bareng anak-anakmu. Oke! Dont be sad, dong ya!"

Miming memejamkan kedua matanya perlahan. Kucing belang tiga itu seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Jangan ngambek gitu dong, Ming. Sini, aku bacain Alqur'an aja buat dede bayimu, Ming. Biar bayimu jadi anak yang sholeh dan sholeha,"

Dhiya mengelus perut Miming kemudian mengangkatnya perlahan. Meletakkan Miming di pangkuan. Gadis itu mengambil mushaf yang ada di ransel.

Baru membaca setengah surat Maryam, suara sms masuk berkicau di ponsel Dhiya. Gadis itu menyelesaikan bacaannya dan menutup mushaf pemberian sang ayah.

"Met liburan, ya. Sudah saya izinkan ransel saya dipinjam."

"Ternyata Kak Anan sudah laporan ama si Gerandong. Hmmm, parah!"

Dhiya berpikir beberapa menit. Ada keraguan sempat menyapa. Ada ketakutan juga yang menghampiri. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk membalas sms itu.

"Baiklah, kisanak! Trma kasih banyak atas jasa ransel ini. Moga dibls Allah dg segumpal daging qurban. Tapi, ranselnya gak apa2 putus kan?"

"Ganti dong!"

"Gampang, ntar aku carikan jodoh. Oh ya, Rara nanyain situ kemarin. Kapan wisuda? Katanya. Hehe."

"Tanyain balik ya, kenapa dia tanya gitu. Mmgnya dia nungguin ambo? Hoho."

"Wuidiiih! Narsis amat ini makhluk!"gerutu Dhiya seraya memanyunkan bibir sambil lanjut mengetik.

Belum selesai mengetik, balasan kedua datang. Dhiya urung membalas, tapi langsung melihat sms lain yang masuk.

"Atau jgn2 situ yang nungguin ambo. Hehe."

"Idiiiihhh, ogah! Beleeeeekk ujan! Sorry-sorry jek!"sangkal Dhiya dengan sms.

"Wuih keong racun lagi nyanyi,"

Dhiya semakin antusias ditantang perang sms sama Randy. Meskipun gadis itu sudah bersungut kesal sejak tadi. Sudah mencak-mencak marah di depan Miming.

"Kamu lihat kan, Ming. Dia duluan ngajakin perang. Emang niatnya ngajak ribut ini orang. Besok kalau dia datang ke rumah, kamu cakar dia. Oke? Jangan wajahnya tapi. Betisnya aja dikit. Janji?"

Miming hanya diam. Ia mengedipkan matanya yang sudah mengantuk.

Ransel milik Randy menjadi bulan-bulanan kemarahannya. Ia ingin memukul ransel itu, tapi tidak jadi karena teringat wafer sama beberapa snack akan remuk.

***

Di sepanjang perjalanan menuju Surga di Kaki Rinjani alias Sembalun, Dhiya tak henti-hentinya berceloteh. Sebentar bertasbih, sebentar teriak-teriak, kadang-kadang menjerit ketakutan melihat tanjakan yang begitu tinggi. Untung saja Rara tetap sabar menghadapi gadis bertubuh kurus itu.

"Ra, pelan-pelan! Kita belum nikah. Jangan ngebut-ngebut. Itu jurang, kiri kanan!"

"Diem, bawel!"

"Ra, indah banget bukitnya! Hijau. Keren, Ra!"

Rara tak menanggapi lagi. Ia fokus mengendalikan gas dan rem.

"Ra, kabutnya! Dingiiiiiinnn!"

"Dasar, gawah! Di Bandung juga kek gini,"

"Tapi beda dong, Lombok dengan Bandung!"

Tak terasa, setelah ribuan detik mendengar drama Dhiya di atas motor, Rara akhirnya memarkir motor di parkiran Pusuk Sembalun.

Dhiya membentangkan tangan, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Rara hanya tersenyum, menyaksikan tingkah polah sahabatnya.

Mata Dhiya terpaku menatap deretan bukit hijau. Pepohonan dan vegetasi pegunungan. Megahnya tebing-tebing batu dengan kemiringan hampir 90 derajat mengelilingi Sembalun. Dinding batu hasil pembekuan materi lava yang dimuntahkan Gunung Rinjani ratusan tahun lalu. 

Di beberapa bagian, tampak lumut dan rerumputan melapisi batuan, menambah pesona keindahan. Udara segar pegunungan memenuhi paru-paru. Sungguh nuansa dan pemandangan alam tropis yang eksotis dan berkesan di hati Dhiya.

Rara mengambil beberapa view indah dengan kamera pocket. Diam-diam ia mengambil foto candid saat sang sahabat masih terpesona melihat alam perbukitan Sembalun. Ketika gadis tomboy itu terlihat takjub.

"Ra, kapan ya kita bisa naik ke puncak Rinjani?"

"Kapan aja boleh, Dhi."

"Banyak bohonglah,"

Rara tertawa ringan mendengar Dhiya berdialek Malaysia. Mereka kemudian bergandengan menuju tempat istirahat yang disiapkan di pinggir jalan.

Minum seteguk air dari botol yang ia bawa, kedua gadis itu menutup rasa haus di antara dingin kabut yang menyelimuti.

Satu persatu isi ransel dikeluarkan Dhiya. Berbagi dengan orang yang ikut duduk di tempat itu.

"Dhi, bukannya itu ranselnya Randy?"tanya Rara tiba-tiba.

Dhiya langsung tersedak. Gadis berjilbab merah bata itu terbatuk. Wafer yang sudah dikunyah, menyembur keluar.

"Biasa aja kali, Dhi! Nggak usah lebay, gitu."

"Ih siapa yang lebay. Gue kurang minum aja kok tadi,"kata Dhiya mengelak.

Ia segera menyambar botol minum di dekatnya. Rara terkekeh dan semakin senang meledek sang sahabat yang terdeteksi sedang menyembunyikan sesuatu tentang ransel milik Randy.

"Jangan telan sama botolnya, Dhi! Minum pakai hati, jangan pakai nafsu."

"Lagian lu, ngapain tanya-tanya ransel?"

"Ya heran aja, kayak pernah lihat dimana gitu. Tapi beneran milik, Randy kan?"

Dhiya tak menjawab. Ia pura-pura sibuk membersihkan bekas serpihan wafer yang terjatuh di rok.

"Ranselku robek. Gue minjam sama Kak Anan. Dipinjemin tasnya si Randy,"

"Oh gitu. Kirain, Randy bawain ente ke rumah,"

"Oh ya, Ra. Lu nggak kagum sama Randy? Kalian kan sama-sama di PMK. Pastinya ada benih-benih rasa gitu."

"Dhi, PMK itu bukan ajang cari jodoh. Bukan ajang cari cinta juga. Di sana kita belajar organisasi. Sama kayak BEM."jawab Rara pelan.

"Iya. Tapi setidaknya, ada yang dijodoh-jodohin sama senior."

"Kalau Randy, itu dulu Dea yang kesemsem. Penghafal Alqur'an, tinggi, putih, suaranya lembut. Dia juga mandiri. Dulu banyak yang klepek-klepek sama dia. Tapi banyak yang minder karena hafalan mereka sedikit."

"Kenapa?"

"Ya secara Randy hafal 30 juz, mereka hafal juz 30 doang!"

"Apalagi gue ya, Ra. Yang hafalannya setengah dari juz 30,"Dhiya menyela.

"Emangnya ente suka sama Randy?"

"Ah, enggaklah! Ngaco aja lu, Ra! Maksud gue, dia hafal 30 juz sedangkan gue juz 30 aja nggak tuntas. Lihat kan, betapa tidak selevelnya kami? Nggak mungkin jodoh. Gue juga mikir-mikir, Ra. Buat suka sama orang yang derajat ketakwaannya tinggi. Dia hafal Alqur'an, lah gue cuma hafal judul drakor. Bermimpi aja gue tak pantas. Apalagi kenyataannya."

"Iya. Tapi kita kan tidak tahu, maunya Allah seperti apa. Kita tidak boleh mendahului takdir. Makanya, tugas kita sekarang adalah memperbaiki diri. Untuk menemukan jodoh. Bukan mencarinya kesana kemari,"

"Mantep dah. Rara is the best waifo!"puji Dhiya seraya bertepuk tangan tanpa suara.

"Biasa aja kali,"

"Eh tapi, Ra. Kalau misalnya, andaikata Randy mengkhitbah, lu mau nggak nikah sama dia?"

"Kenapa?"

"Ya ... gue mau bantu lu buat jadi mak comblang kalian. Biar lu bisa nikah sama Randy. Agar jangan kayak cerita kemarin,"

Rara menyeringai. Menatap Dhiya dengan tatapan menyelidiki. Bak detektif FBI di film-film thriller.

"Kayaknya Randy suka ente, Dhi."tembak Rara seketika.

Ibarat ayam disembelih, hati Dhiya menggelepar. Bibirnya komat-kamit.

"Aih, ngimpi lu, Ra! Memangnya stok akhwat di PMK sudah habis? Nggak mungkinlah, dia suka sama gue!"

Melihat tingkah sang sahabat, Rara tergelak seraya menutup mulut. Ia menahan tawa, mendapati Dhiya terciduk dengan pertanyaannya.

          (Foto : instagram.com/risna1214)
*Bersambung

Monday, February 25, 2019

Menangis Bersama Hujan ( Part 26. Pasrah )

"Dok, apa penyakit saya tidak bisa diobati tanpa operasi?"tanya Dhiya pada Dokter Silvi.

"Tergantung, Dik. Karena itu harus periksa darah dulu. Biar bisa diketahui,"jawab si dokter seraya memompa tensimeter di lengan Dhiya.

"Periksa darahnya harus pakai jarum ya?"

Dokter Silvi tidak menanggapi Dhiya.

"Pernah muntah proyektil kalau sakit kepala?"

"Tidak pernah. Tapi muntah proyektil itu apa, Dok? Itu bukannya peluru meriam?"

"Ya, muntahnya seperti itu,"jawabnya asal-asalan.

"Oh, kirain muntah karena kebanyakan makan,"

"Pernah cidera kepala?"

"Dulu waktu kecil pernah diinjak kuda. Kepala sama dada. Makanya saya bilang, sering sesak juga,"

"Kepala pernah terbentur?"

"Dulu sering. Setahun belakangan ini jarang. Paling terbentur pembatas tempat tidur."

"Sekarang?"

"Sepertinya tidak pernah,"

"Pernah angkat beban berat pakai kepala?"

"Pernah,"

"Sejak kapan dan kapan terakhir?"

"Sejak umur tujuh tahun dan masih sampai sekarang,"

"Beban paling berat yang pernah diangkat kira-kira berapa kilo? Apa semampu yang bisa diangkat lengan?"

"Kadang dibantu jika tidak kuat angkat ke kepala,"

Wanita berkacamata berusia tiga puluh tahun itu melotot mendengar jawaban gadis di depannya. Ia membetulkan letak kacamata, sambil mendelik ke arah Dhiya. Aura jutek tergurat jelas di wajah lulusan Fakutas Kedokteran Universitas Leiden itu.

"Sejak kapan ada gejala sakit kepala seperti ditekan?"

"Sejak SMA. Tapi parahnya sejak masuk kuliah. Konsultasi dokter sekali, hasilnya seperti itu,"

"Saya heran, Anda sudah tahu sakit kepala. Tapi tetap bawa beban di kepala. Berarti Anda tidak peduli dengan diri Anda!"tukas Dokter Silvi dengan nada tinggi.

Dhiya tercekat. Ia menelan ludah karena gugup.

"Duh, ini seorang dokter apa ibu tiri sih? Luar biasa galaknya. Ibu, tolong aku ..."rengek Dhiya dalam hati.

"Hasil pemeriksaan ini harus ada pemeriksaan lanjut, artinya diagnosa dokter saat itu belum final. Sedangkan ini sudah bertahun-tahun, jika kondisi Anda tambah parah, bagaimana?"

"Ya mau bagaimana. Pasrah sama Allah sih, Dok!"timpalnya dalam hati.

"Bu Dokter, eh Mbak Dokter, bisa nggak ya, kalau diinfus itu tidak pakai jarum?"

"Pakai apa dong?"

"Diminum aja gitu, biar cepat habis,"

Dokter Silvi sebenarnya ingin tertawa. Tapi ia menahannya sekuat tenaga. Ia teringat pasien yang kelakuannya sama seperti Dhiya. Takut jarum suntik. Takut disayat-sayat. Melihat orang ditusuk jarum suntik saja, tubuhnya seperti ikut kesakitan. Ikut ngilu.

"Ini dulu diagnosanya aneurisma, tapi harus ada pemeriksaan lanjutan CT Scan dan MRI. Sekarang kemungkinan gejalanya semakin parah, ada gejala tumor otak, Tekanan Intra Kranial dan gejala PTSD. Kalau tidak segera ditangani secara medis, semua itu bisa jadi bom waktu mematikan bagi penderitanya. Saya sarankan untuk segera melakukan pemeriksaan agar diagnosanya cepat terdeteksi dan ditangani,"

Dhiya tampak bingung mendengar penjelasan dokter. Entah karena bahasa medis, yang tidak pernah ia dengar atau karena ia dipaksa segera melakukan pemeriksaan. Namun yang jelas, raut ketakutan begitu nyata di wajah gadis iti.

"Biayanya berapa?"

"Adik punya BPJS?"

Dhiya menggeleng pelan.

"Itu sejenis apa, Dok?"

Dokter Silvi menghela napas. Ia tidak menjawab pertanyaan Dhiya yang terlihat serius. Malah memasang wajah tanpa ekspresi. Membuat pasiennya bergidik.

Setelah menandatangani lembat surat pemeriksaan, Dhiya diajak ke ruang administrasi poli syaraf di sebuah rumah sakit swasta.

***

Dhiya keluar dari rumah sakit dengan wajah lesu. Tak berdaya. Sesekali ia menatap langit dengan wajah getir. Kadang ia menendang kerikil yang menyapa kaki.

"Ya Allah, apa kesalahanku sampai takdirku seperti ini? Harusnya aku saja yang mati, bukan ibu. Aku tak punya ibu, tak punya ayah. Sekarang aku menderita penyakit mematikan? Dan aku hanya melihat kegelapan saat membayangkan masa depan. Tapi, aku tidak akan mengeluh. Aku tidak akan membiarkan semua orang menangis karena sakitku. Aku tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Aku akan menjalaninya sendiri. Aku akan tetap tersenyum seperti pepohonan dipinggir jalan itu. Yang bisa ditebang kapan saja. Tapi mereka tetap tenang, memberi oksigen dan mengurangi polusi,"

Tanpa memedulikan situasi di sekitar, Dhiya bersandar di bawah pohon kelicung. Menatap menara masjid di samping rumah sakit.

"Tapi, terserah padaMu, Ya Allah. Aku akan ikuti kehendakMu. Aku akan ikuti kemauanMu,"desahnya dalam sendu.

Dhiya mencoba kuat untuk menerima kenyataan hidup. Bahkan jauh sebelumnya. Menguatkan diri yang rapuh. Sendiri. Bersikap tegar di depan semua orang. Namun, hatinya begitu merasa rendah.

Meski banyak yang mengira ia angkuh dengan segala tingkah polahnya. Tapi ia hanyalah seorang Anindhiya. Gadis rapuh yang tidak ingin menerima belas kasihan orang lain. Yang sebisa mungkin berusaha untuk tidak merepotkan  orang lain. Meskipun kakaknya sendiri.

***

"Dhi, ente ada kegiatan minggu depan nggak?"tanya Rara di telpon.

"Lagi jomblo, eh lagi santai maksudku, Ra. Ada apa ya?"

"Mau ikut jalan-jalan ke Sembalun nggak?"

"Mau banget, pastinya. Sama siapa, Ra?"

"Kita kencan,"

"Hush, nggak boleh. Kalau ada setan yang dengar, ntar kita dikira penganut LGBT! Ogah, ih!"

"Oke, kencan dua jomblo. Bakal seru nggak kali ini?"

"Seru-seruinlah! Eh tapi kakakmu ngizinin nggak? Kan lu nggak dikasi SIM ke Sembalun?"

"Tenang, masalah izin, udah beres! Tuntas tanpa bekas,"

"Okay! Kita ke kebun buah, gimana?"

"Baiklah, Kisanak!"

Baik Rara maupun Dhiya, begitu girang membayangkan memetik buah strowberry seperti yang selama ini mereka impikan. Sesaat, masalah yang mereka hadapi memudar. Disambut senyuman. Bahkan dunia menjadi saksi, bahwa, mereka adalah jomblo paling bahagia di dunia ini.

***

Dhiya mengetuk pintu kamar Anan. Ia terlihat ogah-ogahan.

"Masuk aja. Nggak dikunci,"kata Anan.

"Kak, boleh pinjem ransel nggak?"

"Ranselmu mana?"tanya Anan datar.

"Robek,"jawab Dhiya singkat.

"Memangnya mau kemana pakai ransel?"

"Na ... ik gunung,"

"Orang naik gunung itu pakai carrier bukan ransel. Palingan juga kamu mau ke Sembalun,"ejek Anan.

"Heran deh gue! Nih orang lagi sensi kayaknya. Lagi kena PMS (Pengen Menikah Syindrom). Dasar sewot!"bisiknya dalam hati,"Seandainya aku nggak lagi butuh, udah gue aja perang dunia ini makhluk! Ugh!"

"Tau aja si Penjaga Rinjani. Sembalun itu kan juga kakinya Gunung Rinjani. Ya, tetap naik gunung namanya walau hanya sampai kaki. Serius aku mau pinjem,"rengeknya mulai tampak kolokan.

"Itu ada di meja,"Anan akhirnya luluh juga.

Dhiya segera mengambil ransel yang ditunjuk Anan. Dengan hati riang gembira.

"Awas, jangan sampai putus. Itu punya Randy!"

Ransel yang dipegang, langsung terlepas dari genggamannya. Dhiya menelan ludah tak percaya. Ia berbalik menghadap Anan. Ketika sadar, ia dengan cepat memungutnya kembali sebelum Anan melihat kegugupannya.

"Terus ransel Kak Anan mana? Kenapa bawa pulang ransel orang?"

"Ransel kakak putus di kampus. Karena bawa barang banyak, Randy kasi pinjem.  Kenapa memangnya?"

"Aduh ibu ... Aku harus bagaimana ini? Balikin? Kalau dibalikin, aku pakai apa bawa snack sama mukena ke Sembalun?"batinnya saat peran melawan rasa gengsi.

"Ah, nggak apa-apa kok, Kak. Kirain bukan Randy yang punya. Tapi aku perlu izin nggak nih sama orangnya?"

"Nggak perlu. Nanti kakak aja yang sms dia,"sahut Anan.

Dengan hati dan langkah mantap, Dhiya keluar kamar Anan yang sedang sibuk mengerjakan thesis.
                (Foto : wattpad/risna_hana)
*Bersambung
Diharamkan copas tulisan ini

Sunday, February 24, 2019

Menangis Bersama Hujan ( Part 25. Senja Yang Hilang)

Senja bertandang mengurung sang surya untuk sementara. Mengiring kedatangan Rara bersama keluarga menjenguk ibu. Dhiya baru saja selesai sholat maghrib. Adam dan Anan terus mentalqinkan ibu dengan ayat-ayat cinta-Nya. Ketika hendak akan memijit kaki ibu, Dhiya tertegun seketika.

Telapak kaki ibu terasa dingin. Tapi jantung ibu masih berdetak di EKG. Dhiya menatap ibu yang masih terlihat pulas.

"Kak, kenapa kaki ibu dingin?"

Anan langsung mengecek pergelangan tangan ibu yang terlihat tidak bernapas. Ia melihat kening ibu berkeringat. Rara segera keluar meminta pertolongan dokter.

Dhiya memegang dadanya yang mendadak sesak.

"Dokter, selamatkan ibuku, Dokter ... Dokter ... Aku mohon, selamatkan ibuku ..."ratap Dhiya penuh iba.

Seluruh penghuni bangsal turut merinding, mendengar tangisan pilu Dhiya. Merwka ikut larut dalam haru yang menyayat jiwa.

Beberapa detik kemudian, garis di monitor EKG berubah menjadi lurus. Bertepatan dengan berakhirnya senja berganti malam.

Rara menggenggam erat tangan Dhiya saat para perawat dan dokter menggunakan alat kejut jantung. Dokter terlihat pasrah.

Dhiya yang sejak tadi menahan tangis, akhirnya tumbang dalam pelukan Rara. Setelah dokter dengan berat hati membaca waktu kepergian sang ibu. Ia kini berkubang dalam kepiluan. Dalam kesepian. Tanpa ibu. Tanpa ayah. Dan Rara adalah orang yang paling tahu rasanya ditinggal kedua orang tua.

***

Dhiya duduk termangu, di atas makam ibu. Kakinya bahkan terasa berat untuk beranjak pergi. Para pelayat yang ikut memakamkan,  satu per satu meninggalkan tanah pekuburan.

Rara tetap setia di samping Dhiya. Menguatkan sang sahabat si saat-saat paling rapuh dalam hidupnya.

Kak Adam kemudian menghampiri adik bungsunya. Sedangkan Anan, diminta pulang untuk menjamu para pelayat yang datang dari jauh.

"Sudahlah, Dik. Ibu sudah tenang di sana. Jangan buat ibu sedih dengan sikapmu ini. Kakak ngerti, ini memang butuh waktu. Bukan untukmu saja, tapi juga kakak,"

Mata Dhiya kembali bertelaga dan hampir meleleh. Ia buru-buru menengadah seraya mengusap bulir bening di sudut mata.

"Sebenarnya di hari pertama ibu di rumah sakit, dokter sudah menyerah. Karena sudah terlambat. Tapi dokter bilang, kasus ibu sangat aneh. Ibu tidak merasakan sakit apapun, padahal kondisi beliau seharusnya sudah tidak bisa bergerak. Tapi ibu tetap kuat. Karena ibu menunggumu. Ibu tidak ingin pergi, kecuali setelah bertemu denganmu. Ibu tidak ingin kamu terpuruk,"

"Tapi Kak, ibu baik-baik aja saat Dhiya pergi,"

"Itu karena ibu tidak pernah menunjukkan sakitnya di depan kalian. Beberapa waktu yang lalu, Ulfa bilang ibu minta diantar ke rumah sakit tapi berpesan untuk tidak mengatakan apapun pada siapa-siapa. Besoknya, ibu mencari paman untuk membeli sawah milik ibu. Kakak rasa ibu udah tau penyakitnya harus dioperasi,"

Dhiya ternganga. Pikirannya campur aduk. Ia teringat kata-kata ibu sebelum menghembuskan napas terakhir. Tentang sakitnya. Artinya, Adam tidak tahu kalau ibu bertanya ke rumah sakit tentang penyakit Dhiya. Bukan penyakit ibu. Dhiya semakin pilu mengingat semua itu.

***

Dhiya pulang dari pemakaman bersama Rara. Langkahnya terhuyung saat memasuki gerbang rumah. Ia berpapasan dengan Randy tepat beberapa langkah setelah masuk gerbang. Keduanya tak bisa menghindari kontak mata.

Tiga detik keduanya terpaku saling menatap. Kali ini Dhiya tidak bisa menghindari mata Randy. Begitu juga sebaliknya. Dhiya tidak bisa menyembunyikan wajah sembab bekas airmatanya dari retina mata Randy.

Randy terlihat seolah merasakan nestapa penderitaan Dhiya. Tampak dari wajah sendunya saat melempar pandangan ke arah Dhiya.

"Jangan lihat aku dengan tatapan sedih seperti itu, Randy. Jangan tunjukkan padaku, bahwa kamu kasihan melihat hidupku yang menyedihkan ini. Kemudian membuat hatimu ikut sedih. Karena aku tidak ingin kamu bersedih karena kesedihanku,"Dhiya membatin.

"Maafkan aku, Dhiya. Aku tidak bisa menghiburmu di saat seperti ini. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah kesedihanmu menjadi kebahagiaan. Tidak bisa mengubah tangisanmu menjadi senyuman. Meskipun aku sangat ingin. Maafkan keadaanku yang menyedihkan ini,"lirih Randy dalam hati.

Randy sempat ingin menyapa Dhiya dengan mengucap salam. Namun, bibirnya tiba-tiba kaku. Gugup menyergap seketika. Denyut nadinya seolah mengamuk. Apalagi saat melihat raut wajah Dhiya yang sedingin salju. Bahkan lebih dingin dari gunung es di Antartika.

Tiga detik berlalu. Dhiya langsung memalingkan wajah. Tanpa menyapa, ataupun memberi senyum. Bertatapan dengan Randy membuatnya mengingat pujian ibu pada pemuda bermata besar itu. Hatinya semakin berkecamuk penuh kepiluan. Keduanya berlalu saling menjauh. Dhiya ke dalam rumah, Randy keluar gerbang.

***
Dhiya duduk memeluk lutut di atas tempat tidur. Rara sudah pulang tadi siang, setelah tiga hari menemani sang sahabat di hari-hari beratnya.

"Meooong!"

Dhiya menoleh. Ia melihat Miming datang membawa perut buncitnya. Kucing berbulu tiga warna itu mengusap-usapkan kepala di kaki Dhiya. Sebagai tanda salam.

"Waalaikumsalam,"gumam Dhiya seraya mengelus perut Miming.

Miming kemudian duduk di samping Dhiya. Memejamkan mata secara perlahan. Wajahnya tampak sedih melihat kesedihan Dhiya.

"Kamu juga pasti sedih kehilangan ibu, Ming. Apalagi ibu baik banget sama kamu. Tapi Ming, kalau kita sedih terus, kasihan ibu. Jadi kita tidak boleh sedih lagi ya,"ujar Dhiya dengan suara rendah.

Miming kembali memejamkan mata perlahan. Tanda setuju dengan nasehat Dhiya.

"Ntar dulu, Ming. Ibu dari mana tau tentang penyakitku?"tanya Dhiya pada Miming yang masih tertunduk sedih.

Dhiya segera berjalan menuju lemari, tempat menaruh buku-buku kuliah. Ia seperti mencari sesuatu. Tetapi tidak ditemukan. Setelah berpikir sebentar, gadis itu beranjak menuju lemari pakaian ibu.

Mata Dhiya terbelalak. Map yang ia cari di lemari buku, berpindah di lemari ibu. Di sampingnya ada perhiasan kalung dan gelang emas. Dengan tangan gemetar Dhiya meraih map berisi rekam medis penyakit yang ia derita.

Di dekapnya map itu, dengan hati penuh rindu. Rindu menggunung pada ibu. Kelopak matanya kembali berembun.

(Foto : instagram.com/kawanimut)
*Bersambung
Diharamkan copaa tulisan ini
By Risan Adaminata


Saturday, February 23, 2019

Menangis Bersama Hujan (Part 24. Suara Terakhir )

Dhiya membaca Alqur'an di dekat ibu yang tak berhenti mengucap dua kalimat syahadat. Dibarengi zikir-zikir lain. Terkadang tak berhenti mengucapkan istighfar. Saat Dhiya melantunkan ayat suci, ibu mendengar dengan khusyu'.

Dhiya bersimpuh di bawah kaki ibu yang terbaring lemah. Memeluk dan mencium wanita yang telah melahirkan dirinya dengan susah payah. Bertaruh nyawa. Tanpa berharap balasan apa-apa.

Sambil mengusap airmata yang tak henti mengalir di pipi, Dhiya terus membaca surat At-Taubah dan surat Yaasiin. Kecupan lembut sesekali mendarat di kening ibu yang tampak tertidur pulas.

Saat Dhiya mengelus pipi ibu, membisikkan doa;

"Dhiya sayang ibu. Dhiya mencintai ibu. Cepat sembuh ya, Bu. Allah akan menyembuhkan ibu,"

Mata ibu tiba-tiba terbuka. Menatap Dhiya sambil mengulum senyum. Tak sedikitpun terlihat seperti pasien yang sedang sakit keras.

"Nak, setelah ibu sembuh ... nanti. Janji ya, kamu mau ke dokter ... untuk periksa kepala,"lirih ibu terbata.

Dhiya tercekat. Ia ingin menjawab namun, gadis itu hanya bisa mengangguk dengan tatapan sedih.

"Ibu, punya ... perhiasan dan uang di lemari. Itu kita pakai ke dokter. Kamu tidak akan ... kesakitan. Ada ibu yang selalu di sampingmu ... Ada Allah juga pastinya,"

"Bagaimana bisa ibu memikirkan Dhiya di saat kondisi ibu seperti ini?"Dhiya mengusap tangis yang begitu saja meleleh di pipi.

"Ibu sudah bilang ... Ibu tidak apa-apa,"

Airmata Dhiya semakin mengucur deras mendengar desahan ibu. Kenyataannya, besok ibu akan dioperasi tapi ibu tetap saja seperti bukan pasien. Seperti ibu yang ia lihat saat istirahat di rumah.

"Anakku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan kenyataan ... Dari ibu dan kakak-kakakmu. Bahwa kamu punya sakit yang harusnya sudah ditangani dokter. Ya Allah, apa salahku hingga Engkau berikan ujian sebesar itu pada bidadari kecil yang Engkau titipkan padaku? Dia menyembunyikan kelemahannya dengan ketegaran. Kelemahannya ia jadikan kekuatan untuk bertahan. Aku mohon, jagalah dia ... Ya Allah,"ratap ibu dalam hati.

"Ibu kenapa nangis?"

"Anakku menangis, bagaimana bisa aku ... tidak menangis? Anakku sakit, bagaimana ... bisa aku tidak tau ... rintihan anakku? Maafkan ibu, Nak."

"Ibu kenapa bilang begitu? Ibu sakit seperti ini, bagaimana bisa Dhiya tidak tahu? Anak macam apa yang seperti itu? Maafin Dhiya, Bu. Dhiya banyak ngelawan sama ibu. Dhiya sering ngebantah ibu,"

"Tidak apa-apa ... Kamu anak baik, akan selalu baik di mata ibu. Nak, ibu mau tanya,"

"Kata dokter, ibu tidak boleh banyak bergerak dan bicara. Besok ibu dioperasi agar cepat sembuh,"

"Tapi hari ini, ibu ingin bicara ... denganmu. Jangan jauh-jauh dari ibu. Karena ibu membutuhkanmu ... di samping ibu sampai hari operasi besok,"

Dhiya hanya bisa mengangguk. Ia memegang erat tangan ibu. Menciuminya penuh rasa sayang.

"Nak, siapa yang ... menciptakan alam ini?"

"Allah, Bu."

"Siapa yang menciptakan, ibu?"

"Allah juga, Bu?"

"Jika Allah ... menjemput ibu, mengambil ibu ... darimu, apa yang akan ... kamu lakukan?"

Dhiya kembali tertegun. Gadis itu menggeleng. Tidak siap membayangkan kata-kata sang ibu. Wanita yang paling disayangi di dunia ini.

"Ibu tidak boleh bicara begitu, ibu akan baik-baik aja. Allah akan menyembuhkan ibu,"

"Nak, ayahmu lebih ... dulu dipanggil Allah. Mau tidak mau, ibu, kakakmu ... dan kamu juga ... Hanya menunggu waktu. Mati ... Bukanlah pemisah abadi. Tapi jembatan menuju pertemuan abadi,"

"Tapi tidak sekarang, Bu. Dhiya, Dhiya, masih butuh ibu. Kak Anan, Kak Adam masih butuh Ibu. Apa jadinya Dhiya tanpa ibu,"ratap Dhiya tidak ingin menerima kalimat ibu.

"Ada Allah ... yang akan menjagamu. Kamu tidak akan ... kekurangan apapun. Ada Allah di sampingmu, Nak."

Dhiya tiba-tiba teringat saat pertama kali tahu akan kondisinya sendiri. Ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Jika Allah lebih dulu memanggilnya dari pada ibu. Gadis itu sangat mengkhawatirkan bagaimana ibu setelah kepergiannya nanti. Lalu, sekarang ketika kondisi itu terbalik, bagaimana bisa Dhiya mengingkari rasa ikhlas yang telah dirawat sejak dulu. Bagaimana dirinya begitu egois.

Sejenak kemudian ia tersungkur. Seperti menyadari sesuatu yang membuat hatinya bergetar hebat.

Ia kembali mendekat ke wajah ibu. Membiarkan ibu mengutarakan semua keinginannya. Sedangkan Anan dan Adam, belum juga kembali mengurus administrasi keperluan persiapan operasi. Ada resah tergurat di wajah Dhiya. Panik. Rasa takut yang begitu hebat.

"Nak, Adam sangat ... menyayangimu. Begitu juga Anan. Jadi, jika ... Ibu sudah tidak di sampingmu ... Turuti saja kata-kata mereka. Terutama Adam. Dengarkan nasehatnya ... Dengarkan keinginan hatinya,"

Dhiya mengangguk pelan seraya mengusap airmata.

"Tadi malam ... Ayahmu datang di mimpi ibu. Beliau sangat bahagia ... Doa-doa dari anak sepertimu ... Membuat ayahmu bahagia,"tutur ibu mengukir sekelumit senyum.

"Ya Allah, apakah ibu benar-benar ingin bertemu denganmu? Apa ibu bahagia bertemu ayah? Apa keegoisanku yang menahan ibu? Astaghfirullah, ampuni aku , Ya Allah ... Berikan keikhlasan di hati ini. Berikan kekuatanku menghadapi semua ini,"

"Nak, ibu ngantuk. Tapi ibu ingin ... minum,"

Dhiya langsung mengambil air. Membantu ibu minum sesendok demi sesendok.

Sesuai permintaan ibu, Dhiya menutupi tubuhnya dengan selimut. Kecuali lengan yang diinfus.

Sambil mendengar anak gadisnya tilawah, ibu terus berzikir, mengucap dua kalimat syahadat dan melafazkan doa tidur. Perlahan mata ibu terpejam. Wajahnya dihiasi senyum manis. Seolah saat ini ibu sangat bahagia.

*Bersambung
By Risna Adaminata
Diharamkan copas tulisan ini 😊😊

Menangis Bersama Hujan (Part 23. Air Mata Ibu)

Dhiya berlari menuju ruang rawat inap. Ia mendapati ibu terbaring dengan jarum infus tertancap di lengan. Meski begitu, wanita paruh baya itu tampak terus mengucap kalimat tauhid. Gadis itu merasa ngilu. Dengan langkah gemetar, Dhiya mendekati ibu seraya membawa tropi juara karya tulisnya.

"Kamu sudah pulang, Nak?"tanya ibu berusaha bersandar.

"Ibu jangan gerak-gerak dulu. Dhiya turun pesawat langsung kesini. Nggak sempat ke rumah. Ibu kenapa bisa di sini?"

"Ibu juga nggak tau. Ibu merasa pusing saat pulang dari sawah kemarin. Tiba-tiba sudah ada di sini. Padahal ibu rasa, ibu baik-baik saja,"

"Ibu kenapa ke sawah tanpa Dhiya? Kan Dhiya udah bilang, tunggu Dhiya pulang dulu baru kita ke sawah,"

"Ibu suntuk di rumah. Apalagi nggak ada kamu, yang bacain qur'an dan terjemahannya. Jadi ibu ke sawah,"

"Ibu, ibu ... Kan ibu bisa minta Kak Anan,"

"Iya, ada Randy juga yang bacain hapalannya di depan ibu. Suaranya bagus. Tajwid dan tartilnya, luar biasa. Dia juga kemarin sudah jenguk ibu. Nungguin ibu di sini sampai nginep,"

Dhiya termangu. Ia tidak tahu harus bicara apa pada ibu tentang Randy. Ada sesuatu yang menghentak-hentak di dadanya saat ibu menyebut Randy.

Tiba-tiba Kak Adam datang dengan wajah pucat setelah menemui dokter. Ia terlihat panik dan tampak sedih melihat wajah ibu. Dengan langkah terhuyung, ia mendekati ibu.

"Adam, kapan ibu bisa pulang? Saat ini, ibu sudah baik-baik saja,"

"Kata dokter, ibu ... masih boleh di sini,"ucapnya terbata.

Melihat gelagat Kak Adam yang mencurigakan, Dhiya meletakkan tropi dan ransel di meja. Kemudian menarik tangan kakaknya keluar jauh-jauh dari kamar ibu.

"Dokter bilang apa, Kak? Jangan bohongi, Dhiya!"

"Ibu harus dioperasi besok,"

Dhiya tersentak mendengar jawaban Kak Adam. Gadis itu membisu. Pikirannya melayang dengan tatapan nanar.

"I, ibu harus dioperasi? Ibu baik-baik aja, Kak. Kakak lihat sendiri, ibu mau pulang. Dokter bilang apa, Kak?"tanya Dhiya mulai berkaca-kaca.

"Dokter bilang, ibu menderita kanker lambung. Jika tidak segera dioperasi, kecil kemungkinan ibu bisa bertahan sampai minggu depan. Karena kankernya sudah menyebar ke organ lain,"

Lutut Dhiya tiba-tiba terasa lemas. Kakinya seolah tak sanggup menopang berat tubuh gadis itu. Dada terasa sesak seketika. Dengan napas tersengal, ia mundur beberapa langkah kemudian bersandar di tembok. Jatuh terkulai tak berdaya.

"Tenangkan dirimu. Jangan tampakkan di depan ibu dan juga Anan. Kakak ke ATM dulu ambil tabungan. Biar surat operasinya segera diproses,"

Dhiya meraih tangan Kak Adam ketika hendak pergi. Tangannya masih gemetar. Ia merogoh kantong ransel, kemudian memberikan ATM miliknya pada sang kakak.

"Pinnya, tanggal lahir kita bertiga,"

Adam menatap Dhiya lekat-lekat. Ia ingin mengembalikan kartu itu. Tapi isyarat mata Dhiya, memintanya untuk segera pergi.

Tanpa mereka sadari, Anan sudah mematung di belakang Kak Adam. Menatap kakak dan adiknya dengan wajah tidak percaya. Plastik obat-obatan yang baru saja ditebus di apotik, hampir terlepas dari genggaman.

Dhiya melihat Anan. Mereka bertiga bertatap-tatapan. Menyuarakan jerit kesedihan melalui airmata, yang mulai membasahi pipi masing-masing.

***

(Foto : instagram.com/kawanimut)
*Bersambung

Menangis Bersama Hujan (Part 22. Badai Pasti Berlalu)


Hujan mulai turun menghapus jejak panas yang masih di lorong langit dan bumi. Rara membiarkan tubuhnya basah terkena tetesan air hujan. Merasakan hatinya ikut tenggelam dalam kesejukan. Ia tersenyum. Namun air matanya ikut merembes menembus pembatas telaga bening itu. Ia menangis bersama hujan. Tangis yang tidak akan pernah terlihat. Tidak akan pernah terdengar. Karena hujan selalu menutupinya. Tangis bahagia yang lepas bersama ketulusan.

Bersamaan dengan hujan yang telah mereda, kapal yang ditumpangi Rara dan Dhiya pun bersandar di dermaga Padang Bai. Beberapa saat kemudian saat mereka turun dari kapal, sms balasan Diva menghiasi layar HP Rara.

“Wa’alaikumsalam. Terima kasih atas pengertianmu, Ra. Aku juga sudah memaafkanmu sebelum kamu minta maaf. Masalah kenapa aku memaksamu datang, karena aku ingin mengenalkan seseorang padamu. Siapa tahu dia adalah seseorang yang pernah datang dalam mimpimu, sebelum Hamas datang menolongmu waktu itu. He he. Becarefull on the way, ya. Semoga sukses kompetisimu di Bandung.”

Rara kembali tersenyum. Kali ini ia merasa benar-benar bahagia. Ia merasa sudah tidak ada bibit kebencian yang tersembunyi di hatinya untuk Diva dan Hamas.

“Aku mencintaimu karena Allah, Va. Semoga Allah mempertemukan kita di surga-Nya kelak. Aamiin ya Rabb,"ucapnya dalam hati.

Dhiya yang juga menangis di belakang Rara, ikut merasakan  ketulusan sahabatnya. Tergambar jelas di gurat senyum Rara saat menatap langit dihiasi pelangi. Ia tahu, Rara lebih takut kehilangan cinta Allah, dari pada kehilangan manusia. Itu Rara. Rara yang Dhiya kenal.

Dhiya menghela napas, hatinya seperti terusik kejadian sesaat tadi sebelum sampai dermaga. Ia memikirkan sang ibu yang terlihat tidak sehat saat pamit pergi. Ia juga sudah memberi pesan agar Anan menjaga Miming yang sedang hamil besar.

"Baru nyebrang aja udah rindu ibu. Bagaimana bisa aku bertahan sampai seminggu di sana? Tapi hanya seminggu aja, Dhiya. Seminggu. Bertahanlah,"lirihnya menyemangati diri sendiri.

Perlahan ia mendekat ke arah Rara di jendela kabin. Menatap gadis itu dengan wajah sedih. Seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tak bisa diungkapkan.

"Maafin aku, Ra. Karena merahasiakan sesuatu darimu,"bisik batinnya.

"Kenapa, Dhi?"

"Gue lihat ada pelangi di bola matamu,"

"Itu lirik lagi jaman kita SD,"

"Nggak kok, aku memang melihatnya. Seseorang pasti sedang merindukanmu,"

"Siapa?"

"Calon cinta halalmu. Wanita baik akan mendapat pemuda yang baik. Meski masih rahasia, jodoh itu adalah cermin diri. Sebanyak apapun usaha kita mencarinya, dia tidak akan hadir. Tapi harusnya kita yang bentuk, dengan memperbaiki diri. Doakan Diva, agar dia bahagia. Dan bisa menjadi istri yang baik untuk Hamas,"

Rara tersenyum seraya mengangguk. Disambut senyuman Dhiya. Mereka saling berpegangan tangan.

"Jagalah persahabatan kami sampai di surga nanti, ya Allah,"pinta keduanya dalam hati masing-masing.
(Foto : instagram.com/dahsyatnya.doa)

*Bersambung
Diharamkan copas tulisan ini 😄😄

Menangis Bersama Hujan (Part 21. Setulus Hujan)


 (Foto : instagram.com/japaris_pangihutan)

Setelah mendapat surat tugas dari rektorat untuk mengikuti tahap final kompetensi karya tulis ilmiah. Rara dan Dhiya segera berangkat. Mereka sengaja memilih jalur laut untuk pergi ke Bandung. Agar bisa menikmati pemandangan laut nan biru.

Kedua gadis bergamis lengkap dengan jaket couple, sudah berada di atas anjungan kapal Ferry. Menyeberang dari Pelabuhan Lembar menuju Pelabuhan Padang Bai, di Bali. Kurang dari dua jam Rara akan menginjak  tanah Pulau Dewata.

Rara menatap dari kejauhan, garis cakrawala yang sudah mulai berubah bentuk.

Dari belakang, Rara dihampiri Dhiya. Ia merengkuh pundak sang sahabat.

“Dhi, kenapa Lombok semakin terlihat panas dari sini?"

“Cuacanya biasa saja kok. Itu cuma perasaanmu aja, Ra. Mungkin Lombok terlihat panas karena hatimu sedang panas juga,"

“Wah, ente sejak kapan jadi peramal?”

“Bukan peramal. Itu karena lu nggak bisa menyembunyikan apapun dari gue,”

Rara tersenyum simpul. Ia membalas rangkulan Dhiya. Menyandarkan kepala yang terasa berat di pundak gadis itu.

“Sudahlah, maafkan jika lu merasa dia bersalah. Dan minta maaflah jika lu merasa bersalah. Tapi dengan tulus ikhlas karena Allah. Jangan biarkan energimu terkuras karena dendam dan rasa benci. Kapan kita mau memikirkan saudara kita di Palestina, Afrika Suriah, Iraq, Rohingya dan Afganistan kalau hati terus dikudeta syetan? Hidup ini harus kita jalani dengan baik. Membantu orang lain. Ibadah dan menjaga semesta alam. Karena kita tidak tau kapan takdir kita selesai di dunia ini,”

“Maksud ente?”

“Menyimpan dendam atau sakit hati itu sama seperti menyimpan bara api di dalam hati kita. Seluruh dunia akan terasa panas, meskipun kita berada di kutub selatan. Memaafkan ibarat hujan dan mata air penyejuk dari langit yang di kirimkan Allah, kepada yang meminta dan kepada yang di kehendaki-Nya. Jarang ada orang yang bisa memaafkan dengan tulus. Karena hatinya sempit. Surga pun akan semakin jauh jaraknya dengan mereka. Cobalah belajar tulus untuk memaafkan. Lu pasti akan melihat hujan di sekelilingmu. Menyejukkan bumi yang hampir mirip neraka ini,"

“Tapi … itu terasa sangat sulit, Dhi.”

“Kalau begitu ingat mati saja. Pikirkan jika lu tidak mau memaafkan orang lain. Tiba-tiba Allah memanggilmu tanpa sempat memaafkannya. Kau akan menjadi penghalang orang tersebut mendapat kebaikan di dunia bahkan mungkin di akhirat. Bahkan mungkin kau bisa menghalanginya untuk masuk surga. Padahal kita sama-sama muslim. Begitu juga sebaliknya. Bagaimana jika dia dipanggil Allah lebih dulu, dengan membawa dosanya terhadapmu? Apakah lu rela melihatnya disiksa, karena lu belum memaafkannya? Ra, lupakan kesalahan orang lain padamu tapi ingatlah selalu kebaikan mereka sebelumnya,”

Rara terpaku begitu lama. Ia menatap buih yang terombang-ambing oleh gelombang kecil di sekitarnya. Membiarkan hati menggulung bersama biru air laut yang sesekali menghempas dinding kapal.

Ia tersadar, saat mendung mulai bergelayut di bawah langit. Siang yang tadinya begitu terik, kini di penuhi awan Comulunimbus. Awan menyeramkan itu semakin bertumpuk-tumpuk di atas Selat Lombok. Mendung itu semakin hitam pekat. Petir mulai menyambar. Perlahan ombak mulai meninggi.

Dari para ABK, semua penumpang mendapat kabar, bahwa tinggal 45 menit lagi, kapal Ferry yang mereka tumpangi bersandar di dermaga.

“Astaghfirullahal adhim. Laa ilaa ha ilallah!”pekik Rara disusul dengan penumpang lain.

Dalam kepanikan, Rara meraba ponsel di kantong gamisnya. Ia buru-buru mengetik pesan singkat kepada seseorang.

“Assalamu’alaikum, Va, maafkan aku jika pernah berprasangka buruk terhadapmu. Aku terlalu egois hingga menyalahkanmu atas apa yang terjadi. Mengenai Hamas, aku sendiri yang menolaknya. Mungkin dia memang bukan jodohku. Maafkan sikapku yang meninggalkanmu kemarin. Aku takut jika terlalu lama di sana, aku akan berbuat kasar terhadapmu. Karena aku manusia biasa. Aku juga berprasangka yang tidak-tidak terhadapmu. Aku kira kamu sengaja memaksaku datang, pada acara pernikahanmu untuk menyakitiku. Tapi mungkin kamu mengundangku karena ingin sahabatmu menyaksikan hari bahagiamu. Itu tidak salah. Akulah yang salah. Dan jika pernah punya salah padaku, atau kamu merasa bersalah terhadapku. Lupakanlah. Karena aku telah memaafkanmu. Selamat berbahagia, Diva. Dari sahabatmu yang egois, Rara.”

Setelah mengirim sms pada Diva, Rara bergegas turun menuju dek kapal. Tapi ia di cegah oleh Dhiya yang baru saja naik ke atas anjungan dengan tangan kosong.

“Pelampungnya sudah habis. Tapi kata para awak kapal, Insya Allah tidak ada badai yang mengkhawatirkan. Hanya hujan biasa. Bukankah lu bisa berenang, Ra?”

Rara mengangguk sambil mengucap syukur berkali-kali. Mereka berdua terus berdoa dalam hati agar Sang Pelindung menyelamatkan mereka semua sampai tujuan. Kedua gadis itu saling berpelukan.

*Bersambung

By : Risna Adaminata
Diharamkan copas tulisan ini 😆😆

Friday, February 22, 2019

Bocoran Mata Air Surga 2

Judul : Saputangan
Author : Risna Adaminata
Mohon kritik dan sarannya ya 😊😊

17 Desember 1997
Wajah Adzkiya tiba-tiba pucat melihat seseorang duduk di pinggir jalan yang akan dilewatinya saat olahraga. Ia seperti menyimpan ketakutan yang amat sangat jika dilihat dari raut wajahnya. Padahal jarak orang itu dengannya masih jauh. Hanya saja, gadis 10 tahun itu mengenali orang yang ditakutinya itu dari pakaian yang melekat di tubuh. Tentu saja lari gadis itu semakin lambat dan bahkan menghentikan langkahnya. Hal itu membuat teman-temannya yang tadinya tertinggal jauh di belakang kini melewatinya.

"Kiya, kamu kenapa berhenti? Ayo, lari! Nanti ketinggalan yang lain!" Teriak Azizah ke arah Adzkiya yang masih tampak panik.

Adzkiya membisu, ia mulai memutar otak mencari alasan untuk menghindar.

Gadis kecil dengan muka awut-awutan itu tiba-tiba memegang perutnya seraya meringis kesakitan.

"Aduh! Perutku ... Zah, aku cari sungai dulu ya. Nanti kalau Pak Doni mencariku, bilang kalau aku buang air besar. Aku harus pergi!" Tanpa membuang waktu, Adzkiya segera memutar badannya dan berlari ke arah yang berlawanan dengan teman sekelasnya.

"Aku harus balik lewat mana ini? Kalau harus balik lewat jalur tadi, malah makin jauh. Belum lagi harus lewat sekolah musuh. Ya Allah, bagaimana ini? Kenapa orang mengerikan itu harus ada di sana? Aku benci. Aku tidak sudi melihatnya." Gerutunya sambil terus berlari menjauh dari tempat ia melihat seseorang yang dianggap menakutkan itu.

Sesekali Adzkiya melihat ke belakang karena takut dikejar orang itu.

"Awaaaasss!" Teriak seseorang.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Adzkiya tersungkur ke tengah jalan setelah sebuah sepeda menghantam tubuh kerempengnya.

Si pengendara sepeda pun ikut terpental ke pinggir jalan. Berlawanan arah dengan Adzkiya dan sepedanya yang sudah berbaring di tanah.

Adzkiya tampak mengaduh kesakitan sembari duduk memeriksa siku, lutut dan mata kakinya yang terasa nyeri. Sedangkan bocah laki-laki bertubuh gempal seperti berjuang keras untuk bangun. Ia mencoba melawan bobot tubuhnya yang terasa berat setelah terpelanting ke tumpukan jerami dan ranting kering di pinggir jalan.

"A ... Duh! Ish, kamu kalau naik sepeda, harusnya pakai mata! Biar orang lain tidak celaka!" Bentak gadis itu setelah melihat si pengendara sepeda sepantaran dengannya.

Setelah bangkit dan membersihkan pakaiannya, bocah laki-laki segera mendekati dan memeriksa kondisi korbannya meskipun mendengar kata-kata makian dari bibir gadis itu.

"Tadi aku sudah bunyikan bel. Tapi kamu nggak dengar. Aku sudah pindah ke pinggir saat kamu lari ke tengah jalan. Tiba-tiba kamu hadap belakang lagi sambil berlari ke pinggir jalan."

"Alasan kamu saja!" Sahut Adzkiya masih kesal.

"Aku minta maaf kalau salah. Tapi aku benar-benar tidak sengaja. Kamu nggak apa-apa kan?"

"Itu mata kakiku berdarah!" Bentaknya lagi seraya menunjuk kakinya yang terluka akibat terjatuh tadi.

Melihat luka di kaki Adzkiya, bocah berpipi tembem itu langsung merogoh kantong bajunya. Ia mengeluarkan saputangan. Beberapa saat kemudian ia merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan beberapa lembar plaster luka.

"Kamu tahan sakitnya ya, aku usapin dulu darahnya. Mama selalu bilang untuk bawa plaster. Karena mamaku seorang perawat. Jadi kalau ada temanku yang jatuh dan terluka, aku bisa memberi pertolongan pertama dengan plaster ini." Terangnya sambil meniup kaki Adzkiya.

Perlahan ia mengusap darah yang masih menempel dengan saputangan miliknya. Sesekali saat ia mendengar Adzkiya meringis, ia kembali meniup luka itu untuk mengurangi rasa sakitnya. Setelah kotoran dan darah di kaki gadis itu sudah bersih, bocah itu segera menempelkan plaster di bagian yang terluka tadi.

Tak hanya di kaki, ia juga memeriksa siku Adzkiya yang lecet. Setelah membersihkan debu yang menempel, meniupnya kemudian memberikan plaster juga di siku. Persis seperti perlakuan seorang dokter terhadap pasiennya.

Adzkiya hanya diam mematung tanpa bereaksi apa-apa selain meringis menahan perih di mata kaki dan sikunya. Wajahnya masih ditekuk akibat kesal dengan kelalaian anak laki-laki di depannya. Meskipun ia juga sempat berpikir, kalau dialah yang sebenarnya bersalah.

"Nama kamu Adzkiya kan? Kenapa kamu malah berbalik arah larinya? Bukankah teman-temanmu  larinya ke arah sana?"

Gadis kecil itu agak terkejut mendengar namanya disebut bocah itu. Tapi saat ia memperhatikan lamat-lamat wajah anak itu, Adzkiya seperti teringat sesuatu.

"Aku Rofi, kita ketemu waktu cerdas cermat di sekolahku kemarin."

"Oh iya benar. Kamu anak yang katanya dapat 10 nilai matematika di rapot itu kan?"

Rofi mengangguk seraya memamerkan senyum manis di antara pipi bakpau miliknya.

"Terus, kenapa kamu bisa di sini? Bukannya ini masih jam sekolah? Kamu pasti mau bolos?"

"Nggak, tadi aku mau pulang ambil ember. Karena ada pembersihan di sekolah. Disuruh sama pak guru."

Adzkiya tertunduk malu sudah menuduh Rofi yang tidak-tidak.

"Kamu sendiri belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu larinya ke sini, bukan ke sana?"

"Ada orang jahat di sana. Aku tidak ingin melihatnya."

"Tapi teman-teman kamu kok nggak takut?"

"Yang tahu dia jahat cuma aku. Kalau nanti aku bilang sama teman-temanku, dia akan jahat sama teman-temanku juga."

"Apa dia pernah memukulmu?"

 "Nggak. Tapi dia selalu menatapku dengan mata melotot. Dia selalu ada di mana aku dan teman-temanku bermain dan menatapku lagi seperti ini." Cerita Adzkiya dengan menirukan cara orang itu memandangnya dengan tatapan tidak wajar.

"Kalau dia tidak memukulmu berarti dia bukan orang jahat."

"Tapi dia sering mengirim salam lewat teman-temanku. Aku tidak suka."

"Kenapa? Bukankah kalau orang besar mengirim salam itu tandanya dia menyukaimu."

"Tapi aku tidak suka. Teman-temanku bilang, kalau ada orang besar yang titip salam. Itu berarti nanti kalau kita lulus SD, dia akan menculik kita dan mengajak kita nikah. Aku tidak mau!"

"Kenapa?"

"Kemarin sekolahku ribut, gara-gara teman kelasku ada yang hampir diperkosa sama temannya orang itu. Temanku diajak pacaran sama orang itu, lalu dibawa jajan sama permen ikut ke kebun jagung. Aku takut orang itu juga akan seperti itu. Aku tidak suka ditatap sama dia. Aku tidak suka dia kirim salam lagi. Aku benci. Benci!"

"Kalau begitu, biar aku antar kamu pulang pakai sepeda itu. Dia tidak akan berani mengganggumu. Karena ada aku."

"Kamu juga masih kecil. Tidak mungkin melawan orang itu. Dia tubuhnya besar. Sudah tamat SD 4 tahun yang lalu. Sepedamu juga tidak muat kalau berdua. Kamu juga harus ambil ember. Nanti kamu dicari sama pak gurumu. Aku pulang lewat sana saja."

"Tapi kakimu terluka. Kalau kamu bisa pakai sepedaku aja pulang."

"Nggak, aku pernah jatuh naik sepeda. Jadi aku juga benci naik sepeda. Aku bisa lari kencang biar cepat sampai di sekolah. Kamu pulang saja pakai sepedamu."

Adzkiya memperbaiki kuncir rambutnya yang terlihat berantakan. Saat ia akan bangun, ia mengeryitkan alisnya melihat dagu Rofi ada bercak merah.

"Dagu kamu berdarah?"

"Nggak, cuma lecet sedikit saja kok. Kalau begitu aku pulang ya. Sampai jumpa." Sahut Rofi sambil bergegas membangunkan sepedanya dan langsung pergi tanpa melihat ke belakang.

"Hei! Saputangan kamu ketinggalan!" Teriak Adzkiya mengingatkan.

Rofi yang sudah memutar di tikungan jalan, tak bisa mendengar teriakan Adzkiya.

"Mungkin dia jijik ada bekas darah di saputangannya. Mungkin dia membuangnya karena ada darah. Atau mungkin, dia ingin aku mencucinya dulu baru dibalikin sama dia?" Gumam Adzkiya menggenggam saputangan hijau muda milik Rofi.

"Dasar gendut. Kalau naik sepeda berdua, bisa pecah ban sepedanya. Pintar matematika tapi malah nggak bisa mikir panjang. Tapi kalau dia kurus sedikit saja, mungkin si Azizah, Zaenab sama Ema bakal heboh di kelas. Secara kan mereka suka membicarakan betapa pintarnya anak itu di sekolah. Nyatanya kemarin saat cerdas cermat malah kalah."

Meski terasa nyeri di kaki, Adzkiya berusaha lari cepat. Namun beberapa langkah, ia berpapasan dengan dua siswa berseragam sama dengan Rofi. Ia mengenali salah satunya.

"Si Rofi kemana sih? Ambil ember lama banget." Gerutu salah satu dari mereka sampai terdengar ke telinga Adzkiya.

"Oh pantesan, si Rofi tadi pergi buru-buru. Dia melihat si Sandi."

"Lho Adzkiya, kok di sini? Bukannya teman-temanmu lari ke sana?"

"Iya, tadi uangku jatuh jadi aku balik lagi untuk mencarinya."

"Oh, kamu lihat si Rofi gembul nggak tadi lewat sini? Yang kemarin ikut cerdas cermat lawan kamu."

"Sepertinya tadi aku lihat dia belok jalan itu."

"Oh, iya. Makasih ya. Berarti dia baru pergi. Dasar gembul, lelet kayak siput!"

"Aku ke sana dulu ya." Kata Adzkiya pamit pada Sandi dan temannya.

Sandi menggangguk. Kemudian kembali ke gerbang sekolah.

Menangis Bersama Hujan (Part 20. Pengakuan Dosa)

Usai acara pelepasan para wisuda dan wisudawati, Rara memeluk Dhiya erat-erat. Ia hampir menumpahkan air matanya di pundak sahabatnya itu. Namun tak sepatah katapun mampu terungkap.

Setelah kedua gadis itu saling mengenalkan keluarga masing-masing, Rara tiba-tiba minta diri. Ia membiarkan Dhiya bercengkrama dengan keluarganya dan memilih pergi ke kantin untuk bicara empat mata dengan Diva.

Setelah menghabiskan 1 porsi nasi goreng dan es jeruk, kedua gadis itu kini berhadap-hadapan dan siap mengutarakan perasaan mereka satu sama lain. Untung saja, kantin masih terlihat lengang dan mereka leluasa memilih kursi di pojokan yang jauh dari tempat lalu lalang mahasiswa lain.

Rara berusaha sekuat tenaga agar terlihat tenang di depan Diva. Namun kadang degup jantungnya laksana gempa bumi berskala tinggi.

Tiba-tiba Diva menatap Rara dengan raut wajah serius. Dingin tanpa ekspresi. Hati Amira sedikit bergidik. Ia mencoba menerka apa yang akan keluar dari lisan sahabat karib barunya itu.

"Ra, aku minta maaf. Jika selama ini merahasiakan orang yang menjadi calon suamiku. Aku hanya ingin kau tidak salah paham. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Dan memutuskan untuk memberitahumu yang sebenarnya,"ungkap Diva tiba-tiba.

Rara menatap gadis bergamis ungu di depannya itu dengan wajah bingung tak berkesudahan. Ia tak bisa menemukan ujung pangkal pengakuan Diva.

"A, apa maksudmu, Va? Kamu jangan membuatku takut. Tentang kamu merahasiakan Hamas, itu nggak pernah jadi masalah buatku. Toh juga sekarang aku sudah tahu,"ujar Rara semakin gusar.

"Masalahnya, karena aku tahu bahwa kau menyukai Hamas dan Hamas juga menyukaimu,"aku Diva seraya tertunduk lesu.

Kini Rata terpana. Mulutnya ternganga mendengar pernyataan Diva. Hatinya bagai disengat kalajengking. Tatapannya kosong. Seluruh rasa menggulung lalu menghempasnya ke tebing curam. Remuk. Sakit. Perih.

"Jadi benar, kau memang tahu dari awal. Apa selama ini kau juga memanfaatkanku untuk mencari tahu informasi tentang Hamas?"lirih Rara dengan tatapan nanar.

"Bukan begitu, Ra. Aku benar-benar tidak memanfaatkanmu. Aku hanya tidak bisa kehilangan Hamas. Makanya ketika aku tahu, Hamas menyukaimu. Aku berusaha melepasnya untukmu, tapi tidak bisa. Aku merasa tidak rela. Dan meminta Tante Hera melamar Hamas untukku pada keluarganya. Kebetulan Tante Hera teman dekat Tante Fani, ibunya Hamas,"mata Diva mulai berkaca-kaca.

Rara yang sudah tertoreh luka sebelumnya, semakin merasa hatinya seperti tercabik burung gagak.

"Aku yang salah, Ra. Aku yang menyebabkanmu bertemu dengan Hamas malam itu. Andai saja aku yang menjemputmu, mungkin kamu tidak akan jatuh cinta pada Hamas. Aku menyesal. Aku minta maaf, Ra. Aku tidak menjemputmu bukan karena tidak diizinkan orang tua, tapi karena aku malas. Aku tidak rela, kamu merebut Hamas dariku hanya karena salahku sendiri."

"Jadi kamu nggak pernah tulus, berteman denganku, Va?"

"Bukan begitu, Ra. Ini hanya masalah Hamas. Sekuat apapun aku berpikir, bahwa kamu mungkin yang terbaik untuk Hamas. Tetap saja aku merasa itu tidak benar. Hamas pemuda kota dari keluarga sukses dan utuh. Sedangkan kamu hanya gadis desa yang tak punya orang tua. Jika kamu kenapa-kenapa nanti saat hamil, melahirkan, siapa yang akan membantumu? Kamu hanya akan menyusahkan keluarga Hamas. Karena tidak mungkin kakak-kakakmu bisa menolongmu. Saat memikirkan semua itu, rasanya aku tetap lebih baik darimu. Itu yang membuatku berpikir, mengembalikan Hamas menjadi milikku seutuhnya,"

Rara semakin tercekat mendengar semua kenyataan yang terurai dari bibir Diva. Ia marah. Kecewa. Sedih. Sungguh, Rara tak pernah menyangka Diva bisa mengatakan hal keji itu padanya.

Rara setengah mati menahan kepedihan dalam dada. Ia merasa benci. Benci dengan dirinya sendiri. Berkali-kali ia mengucap istigfar dalam hati. Amarahnya meletup bagai lumpur panas mendidih yang siap menenggelamkannya dalam rayuan syetan.

"Kenapa Va? Kenapa kau melakukan hal ini padaku? Apa salahku padamu, Va?"Tanya Rara menahan emosinya.

Matanya mulai tampak bertelaga.

"Tidak, Ra. Kamu tidak salah. Dulu ketika SMA, aku dan Hamas pacaran. Tapi kami putus karena dia memilih masuk REMUS, dia tidak mau pacaran. Waktu itu aku tidak mau memakai jilbab besar. Karena aku tidak siap masuk REMUS seperti Hamas. Aku pikir, aku sudah melupakan dia dan mengabaikan ajakannya untuk berubah. Tapi sejak aku tahu, kamu menyukai Hamas. Aku merasa cemburu dan iri,"

Rara ingin sekali menampar Diva karena kekesalannya sudah di ubun-ubun. Tapi air mata Diva membuatnya lemah tak berdaya. Gadis malang itu menelan ludahnya yang terasa pahit di kerongkongan.

"Va, masalah Hamas, tanpa kamu minta aku untuk melepasnya, aku akan melakukannya. Tapi yang paling menyakitkan, ketika kau berpura-pura menjadi sahabatku tanpa sebuah ketulusan. Apa kau pernah benar-benar tulus padaku, Va?"

"Ra, maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya,"

"Benarkah? Aku butuh waktu untuk percaya akan hal itu. Maaf Va, aku tidak bisa berpura-pura baik di hadapanmu untuk saat ini. Aku pergi. Assalamu'alaikum,"ucap Rara dengan suara bergetar.

Rara semakin muak menahan semua amarah yang telah membuncah. Ia tidak tahan lagi. Ia bangkit hendak meninggalkan Diva yang masih tertunduk sesenggukan.

"Ra, tunggu! Aku belum selesai bicara. Jika kamu mau, aku akan meminta Hamas melamarmu setelah kami menikah!"seru Diva lagi tanpa memedulikan suasana di sekitarnya.

Kantin memang belum terlalu ramai. Tapi beberapa orang sempat merasa tidak nyaman dengan teriakan itu.

Rara memejamkan mata. Kejam. Kata-kata itu sungguh kejam baginya. Bagai ribuan jarum beracun serta merta menusuk seluruh persendiannya mendengar tawaran Diva. Gadis itu terus berlalu meninggalkan Diva yang masih tertegun di bangku kantin.

"Bahkan aku ragu kamu benar-benar tulus minta maaf, Va. Kau sudah tahu perasaanku tapi masih saja memaksaku datang. Apa kamu memang ingin membuatku terluka? Kamu sudah membuat luka. Kau tambah garam lalu kau siram lagi dengan cuka dan air cabe. Apa kamu pantas disebut sahabat?"rintih batinnya dengan derai air mata yang tumpah di tengah jalan.

***

Di kantin, seseorang mendekati Diva seraya bertepuk tangan. Seolah mengagumi dan menyanjung perbuatan Diva.

Diva menoleh, ia terbelalak. Dhiya sudah berdiri dengan raut wajah seperti hendak menerkamnya hidup-hidup. Kehadiran Dhiya benar-benar membuat Diva panik dan ketakutan.

"Apa begitu caramu menginjak-injak harga diri Rara? Orang yang selama ini menganggapmu sebagai sahabat?"

"Kita tidak punya urusan, Dhi! Sebaiknya kamu jangan ikut campur,"

Dhiya menyeringai. Tatapan matanya yang tajam membuat Diva semakin gentar. Apalagi saat Dhiya duduk di depannya. Ia bergidik. Bahkan ingin segera lari sejauh-jauhnya dari kantin.

Tiba-tiba Dhiya menggenggam tangan Diva dengan erat. Sangat erat. Sampai Diva terlihat meringis.

Dhiya tersenyum kecut.

"Kamu gemetar? Tentu saja. Karena saat ini, aku ingin menenggelamkanmu di palung Marina. Memberikan tubuhmu dimangsa hiu lapar. Baru aku bisa tenang! Perbuatanmu yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan keinginanmu, itu karena kamu egois. Pikiranmu sempit,"

"Itu karena aku juga manusia biasa, Dhiya!"sahutnya gemetar.

"Bukan, kamu lebih tepatnya srigala berbulu kucing! Jika kamu manusia, bagaimana bisa kamu melakukan hal sekeji itu pada Rara? Hah?!"

Dhiya menahan emosi dan nada suaranya.

"Bukan urusanmu,"sangkalnya.

"Bagaimana bisa ini bukan urusanku! Bahkan kamu jadi provokator agar hubunganku dengan Rara renggang. Kamu melempar tuduhan padaku, agar Rara sibuk berburuk sangka, lalu dengan leluasa merebut Hamas darinya. Kamu manfaatin aku juga, terus bilang bukan urusanku? Apa kamu tidak punya otak?"geram Dhiya.

"Itu karena ... "

"Sudahlah, jangan membuat alasan. Bagaimana bisa kamu membantu Rara, di depannya kamu senyum penuh ketulusan tapi di belakangnya kamu mengatakan dia tidak tau di untung? Sudah dibantu tapi merebut pacarmu? Apa cuma Hamas, Hamas dan Hamas yang hidup di duniamu hingga kamu tidak memikirkan yang lain? Seolah Hamas itu orang yang membuatmu hidup dan mati?"

Diva membisu seribu bahasa. Hanya airmata yang deras mengalir, seolah merasa bersalah dengan apa yang dilakukan pada Rara.

"Sebenarnya, aku iri kamu berteman dengan Rara. Aku ingin kamu yang jadi sahabatku, bukan Rara. Rara cuma gadis kampung tidak pantas berteman denganmu yang ..."

"Cukup! Hentikan omong kosongmu itu Nyonya Diva Tantri Clara! Sekali lagi, kamu bicara seperti itu, aku tidak akan segan-segan menghajarmu. Walaupun kamu cewek. Kamu pikir aku tidak tau bahwa kamu sering menjelek-jelekkanku di depan teman SMA-mu? Membuat kami jadi penjahat dengan tangisan palsumu? Menjadikan dirimu korban? Bahwa aku dan Rara yang merebut Hamas darimu? Dasar egois! Tapi, kali ini aku akan memaafkanmu. Dan ingat baik-baik, kalau sampai terjadi apa-apa pada Rara, sungguh aku tidak akan melepasmu! Camkan itu!"

Dhiya melepas tangan Diva dengan kasar. Kemudian melangkah meninggalkan kantin. Sungguh Dhiya juga berat mengatakan hal itu pada Diva, tapi kejahatan itu harus dimusnahkan dari muka bumi. Dhiya tidak membenci Diva sama sekali. Ia hanya menyesalkan sikap gadis yang sudah Rara anggap sebagai sahabatnya.

Sedangkan Diva yang semakin tersudut, kini menangisi diri sendiri. Rasa bersalah kini telah merajai dan menghukum dirinya.
*
Bersambung

Informasi Jadwal Lengkap Penerimaan CPNS dan PPPK

                                           (Sumber : Dok. Lembaga Administrasi Negara/LAN)     Penerimaan CPNS dan PPPK Tahun 2021 segera di...