(Foto : dok. Pribadi)
Cinta Dalam Diam
Part 1
Risna Adaminata
Pandangannya nelangsa menjurus ke gulungan ombak. Ada kata tak terungkap. Kata hati, yang merasa sepi dalam penantian. Seseorang telah sekian lama tertunggu-tunggu, tak kunjung bersua di bawah langit tak bersalju.
"Apa lu masi ngarepin dia, Han? Lelaki tanpa kabar dan tanpa kepastian itu?"
Hanifa terdiam mendengar celotehan Desi. Ia hanya bisa tertunduk. Pikirannya berkecamuk penuh dilema.
"Sampai kapan lu harus nunggu kayak orang bego di sini? Kalau memang lu serius mikirin janji kalian dulu, jual warisanmu, beli tiket dan cari dia di Korea."
"Omong kosong macam apa yang kau bicarakan, Des?"
"Lu pikir, aku gak tau kalau selama ini kamu beli kamus bahasa hangeul?"
"Itu, itu hanya untuk belajar aja, Des."
"Aku tau, Han. Arbi, dia itu baik. Tapi kita tidak bisa menjamin dia masih setia ama janjinya."
Seketika itu jua, wajah lelaki yang disebut namanya oleh Desi berkelebat di pelupuk mata.
"Emangnya kalian janjian mau nikah?"
"Enggak,"
"Terus?"
"Janji bertemu setelah lulus kuliah."
"Janji bertemu doang lu masih ngarep besar sampai sekarang? Sampai nolak si Vito?"
"Aku nolak Vito bukan karena Arbi. Tapi karena aku belum siap."
"Hmmm...bener juga sih. Vito jauh lebih ganteng dari Arbi. Cuma menang pinter doang. Tapi ini sudah tujuh tahun sejak dia ikut pertukaran pelajar ke Korea. Dan menetap gara-gara bokapnya jadi staf KBRI di Korea. Dan selama lima tahun tak ada kabar berita."
Hanifa membisu. Ia kembali menatap ombak bergulung, sementara ombak yang lain beristirahat.
****
Seminggu kemudian.
Hanifa memandangi koper yang baru saja dikunci dengan angka tanggal lahirnya dan Arbi.
Ia benar-benar berhasil tersulut hasutan Desi yang memintanya menjual warisan orang tuanya untuk pergi ke Korea.
"Aku sangat benci hal-hal yang berbau Korea. Drama, boyband, girlband. Auuuh nggak banget deh. Dan sekarang, gara-gara terjebak janji cinta pertama, aku harus kesana? Suatu kegilaan macam apa ini ya Allah?"
****
Hanifa menarik napas lega saat turun di depan gerbang KBRI di kota Seoul. Gadis itu melangkah gontai seraya menggenggam visa dan kartu tanda pengenalnya.
Gadis itu memantapkan hati untuk bertanya pada beberapa petugas yang berjaga di luar kantor.
"Assalamualaikum. Annyeong hashimnikka,"sapa hanifa.
"Ne, annyeong. Selamat siang, ada yang bisa dibantu?"
Hanifa sedikit kaget mendengar penjaga itu bisa berbahasa indonesia.
"Saya ingin nama ini, Pak. Saya tidak tahu apakah mereka masih tinggal di sini, tapi setidaknya nama mereka terdaftar di KBRI. Karena di sana, mereka bilang nama ini belum kembali."
Hanifa menyodorkan secarik kertas bertuliskan nama Arbi dan orang tuanya.
"Baiklah, kalau begitu silakan duduk dulu. Kami akan cek di bagian informasi. Mohon tunggu sebentar."
Beberapa menit menunggu, petugas tadi menghampiri Hanifa.
"Mbak dari Bogor?"
Hanifa mengangguk pelan.
"Saya dari Yogya, Mbak."
"Oh, saya pikir dari sini. Kirain bisa bahasa Indonesia karena kerja di sini harus berbahasa Indonesia. Terus darimana Masnya tau kalau saya dari Indonesia tadi?"
"Mbak kan pakai jilbab. Dan juga ini kan kedubes RI. Jadi yang kesini, cuma mahasiswa, TKW Indo sama tourist yang mau ke Indo."
Hanifa mengangguk tanda mengerti.
"Oh ya, Pak Didi Syamil masih bekerja dan tinggal di sini bersama keluarganya. Lusa adalah acara ..."petugas itu menggantung kalimatnya saat seseorang terlihat berjalan ke ruangan duta besar.
"Nah Mbak itu Mas Arbi baru datang."
Deg!
Jantung Hanifa tiba-tiba berdegup kencang. Darah seperti mengalir deras menyusupi rongga pembuluh nadinya.
Gugup, gemetar dan berbunga-bunga. Tiga rasa itu seolah berebut mengisi sosok Hanifa. Dengan hati ragu, seraya menahan napas gadis itu menoleh perlahan. Slow motion.
Seorang pemuda berpostur tinggi, berkulit putih dengan penampilan klimis melangkah pelan, mendekat ke arah Hanifa berdiri.
Gadis itu terpana. Mata yang tadinya berbinar, berubah menjadi tatapan penuh keheranan. Pandangannya lurus ke wajah pemuda dengan coat warna cokelat
"A, arbi? Anak laki-laki yang aku kenal berponi. Berkulit cokelat. Biasa saja. Kurus. Pendek. Menjadi sebaliknya? Benarkah dia Arbi yang aku kenal? Tapi, matanya ...itu milik Syamirul Arbi yang aku kenal. Senyum itu juga."Hanifa bergumam dalam hati.
"Apa dia melakukan operasi plastik? Tidak, tahi lalat di pipinya masih ada. Arbi berubah 90 derajat, apa aku hanya mimpi? Masalahnya adalah, apa dia masih mengingatku? Masih mengenaliku?"Hanifa masih sibuk bertanya-tanya dalam hati.
Mata Hanifa belum beranjak dari fokus pandangannya. Ia semakin terhenyak, kala pemuda terduga sosok Arbi, mengangkat tangan kanan dan melambai ke arahnya. Tersenyum kepadanya.
"Hanifa, sadarlah! Ini mungkin hanya mimpi. Mimpi anak jalanan yang membutuhkan cahaya hati."
Yakin bahwa Arbi mendekati dan masih mengingatnya, Hanifa dengan hati penuh kelopak bunga bertaburan membalas lambaian itu. Namun, ia terlihat ragu karena gugup. Tangannya tampak gemetar.
Dua langkah sebelum berpapasan, Hanifa menahan napas, saat menyadarj bahwa kelopak mata pemuda itu bukan tertuju padanya. Melainkan fokus ke arah lain. Tepatnya di belakang Hanifa.
Seperti tersiram air es, tubuh gadis itu seolah membeku. Tak berkutik. Malu setengah sadar. Ia memejamkankan mata agar busa mengurangi rasa malunya.
"Apa dia memalingkan wajahnya tadi? Dia melihatku. Aku melihatnya menatap mataku. Itu tatapan Arbi. Meski aku bilang bukan, itu tatapan Arbi. Dia melihatku kan? Tapi, kenapa dia mengabaikanku begitu saja?"riuh suara hari Hanifa menggema di seluruh penjuru aliran darahnya.
Ada rasa perih terasa menggenang di permukaan hatinya. Rasanya ada yang tersayat. Ada yang terluka. Namun tidak berdarah.
"Jagiya! Kau sudah datang?"sapa seseorang dengan suara begitu merdu. Suara seorang wanita.
"Ne."balas pemuda itu.
Hanifa menoleh ke belakang dan menyaksikan apa yang seharusnya dia saksikan. Pemuda itu digandeng gadis tak berjilbab seraya berjalan menuju ruangan Duta Besar.
Lemas sudah lutut Hanifa. Potek sudah hati gadis yang jauh-jauh datang melewati berbagai rintangan di tengah jalan, hanya untuk melihat pemandangan yang membuatnya baper dan galau tak berkesudahan. Harapan yang tersusun indah kini hancur berkeping-keping tanpa ingin dia punguti lagi kepingannya.
"Arbi yang dulu begitu takut saat ada wanita mendekati, kini bergandengan tangan tanpa menolak. Apa dia sudah menikah?"
Hati yang tadinya nyaris ambruk, selesai sudah. Kini, rata dengan tanah. Hanya menyisakan sesak di dada.
Sumber : cerpen karya pribadi sendiri
No comments:
Post a Comment