Saturday, March 30, 2019

Apa Yang Kira-Kira Kita Bisa Lakukan Jika Tsunami Datang Menerjang?

               (Foto : facebook.com/Risna Lotim)
     Apa yang kita lakukan jika tsunami tiba-tiba menerjang?
.
Bismillahirrahmanirrahiim..

Ini merupakan tulisan beberapa bulan yang lalu saat tsunami di Selat Sunda terjadi. Saya posting ulang di blog agar bisa bermanfaat untuk para pencari artikel.

Tadi pagi tidak sengaja menyaksikan tayangan tentang bagaimana perjuangan seorang ibu berusia sekitar 45-50 tahun, selamat setelah terseret tsunami ke tengah laut selama berjam-jam di Lampung.
.
Hal yang membuat saya tertarik menonton tayangannya adalah, ibu tadi mengatakan bahwa laptop menyelamatkan dirinya dari tsunami.
.
Awalnya, gelombang pertama yang sampai ke rumahnya sekitar 30 cm. Ibunya panik dan menelpon keluarga seraya menyiapkan diri untuk mengungsi. Laptop yang belum sempat dimasukkan dalam tas, beliau jinjing. Namun, belum sampai di pintu, air setinggi 5 meter sudah menggulung rumahnya dan menyeretnya ke tengah laut.
.
Si ibu sadar, bahwa ia harus tenang. Karena jika dia panik, beliau akan tenggelam. Karena saat panik, beban / berat badan seseorang bisa bertambah. Jadi beliau memilih rileks dan meletakkan kepalanya di laptop yang ternyata ada busanya hingga membawa ibu ini terus mengapung.
.
Benar, tubuh yang rileks akan lebih mudah mengapung di air. Alhamdulillah sekian lama di laut, beliau menemukan bambu besar. Bambu itu dipeluknya dan tetap meletakkan kepala di atas laptop sampai si ibu pun terlelap di atas air.
.
Pagi subuh ia sadar dan berdoa minta tubuhnya dihempas ke pinggir pantai. Alhamdulillah, hal itu pun terkabul.
.
Dengan tubuh penuh luka, ibu paruh baya ini merangkak berjuang naik dari bebatuan besar selama 4 jam sampai fajar muncul di ufuk. Ia melambaikan tangan dan menemukan tim evakuasi.
.
Saat bertemu tim evakuasi, ia mengatakan tidak bisa berjalan. Si ibu pun ditandu. Saat di perjalanan, beliau minta HP untuk menghubungi keluarga. Sampai ditanya sama tim evakuasi, apakah si ibu sadar dan ingat nomor Hp keluarga? Beliau menggangguk yakin.
.
Hal yang sama terjadi juga dengan vokalis Seventeen. Yang diselamatkan Allah dengan mengirim box mengapung yang menjadi pegangan saat Ifan dan beberapa orang lainnya hampir kehilangan napas karena kelelahan.
.
Di air, memang kepanikan sering terjadi. Bahkan di saat gempa pun juga demikian. Kadang bukan bencananya yang membuat kita terluka, tapi kepanikan tanpa tahu mitigasi yang tepat dari awal membuat orang sering berlari tanpa tahu arah hingga jatuh terjungkal dengan kepala terbentur tembok. Padahal gempanya tidak merobohkan apapun.
.
Jika di air, rileks tetap harus dijaga( kalau sadar). Cari pegangan pada benda2 yang sekiranya bisa dipakai bertumpu saat mengapung.
.
Selebihnya Allah lah yang punya kehendak. Kita dipanggil atau diizinkan melanjutkan hidup atau tidak.
Semua akan kembali padaNya.
.
Jumat, 28 Desember 2018
Risna

Mantap! Lalu Muhammad Zohri Kembali Menorehkan Prestasi Setelah Mengalahkan Malaysia di Ajang Malaysia Open Grand Prix 2019


    (Sumber foto : instagram.com/pasipusat)
Bismillahirrohmaanirrohiim...

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Gagal turun bersama tim estafet putra yang berlaga Singapura Terbuka, Lalu Muhammad Zohri yang tengah menyiapkan Ujian Nasional sebagai siswa kelas 3 SMA, berhasil mempersembahkan medali emas dari ajang Malaysian Open Grand Prix 2019 yang berlangsung di Kuala Lumpur pada tanggal 30 sampai 31 Maret 2019. Ia ditunjuk menjadi wakil Indonesia di kelas 100 M lari cepat putra.

Lalu Muhammad Zohri yang mengaku tidak dituntut atau dibebankan dengan target apapun, namun ia hanya disarankan oleh pelatih untuk menggunakan teknik yang sudah diajarkan selama ini. Remaja 18 tahun ini akhirnya sukses meraih medali emas yang sebelum berangkat ke Malaysia, terlebih dahulu minta doa pada warga Lombok dan juga masyarakat di seluruh Indonesia untuk dapat memberikan yang terbaik bagi bangsa Indonesia.

Zohri sukses menggondol gelar juara setelah menyingkirkan saingannya dengan waktu 10.20 detik. Sedangkan di posisi kedua, pelari asal Malaysia hanya bisa mencapai 10.41 detik. Posisi ketiga diraih oleh pelari asal Taipe, dengan waktu 10.44 detik. Dengan demikian, Lalu Muhammad Zohri mampu menorehkan prestasi lain di Stadium Bikit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia.

Semoga apa yang diperjuangkan Zohri, dapat memotivasi generasi muda lainnya untuk terus semangat dan memberikan prestasi membanggakan bagi bangsa ini.

Zohri akan pulang ke Indonesia untuk mengikuti Ujian Nasional kelas 3 SMA.

Sekian, semoga informasi ini bermanfaat.

Wassalam.

Tuesday, March 26, 2019

Menangis Bersama Hujan (Part 42. Istikharah Dalam Dilema)


               (Foto :instagram.com/act_elgharantaly)
       
Menangis Bersama Hujan
Part 42. Istikharah Dalam Dilema
Risna Adaminata
***
Randy memurojaah hafalannya sendiri dengan rekaman smartphone. Suaranya begitu sendu dan khusyuk. Bacaan hurufnya yang fasih dan tartil membuat lafadz-lafadz ayat Allah terdengar begitu jernih keluar dari lisan pemuda sholeh itu.
Tanpa terasa, air mata bening menetes di pipi Randy. Entah karena terlalu menghayati makna dari ayat yang dibaca atau karena memikirkan sesuatu yang mengganjal di hati. Namun, fenomena itu sering menjadi cerita berkesan teman-teman PMK yang pernah menemaninya murojaah hafalan.

"Shodaqallohul adzim ...!"

Tersadar saat ada yang terasa hangat di pipi, Randy perlahan menyeka dengan dua jarinya. Ia memandang langit dimana mentari mulai lengser turun ke ufuk barat.

"Sebentar lagi senja. Dan ini adalah senja yang ke-40 sejak aku melayangkan maksud hati ke Dhiya," gumam pemuda itu dengan mata gelisah.

"Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh!" Sapa seseorang tiba-tiba dari pintu gerbang.

Randy menjawab salam sambil memaksa tersenyum menyambut siapa yang datang.

"Silakan masuk Uda," sambut Randy pada Uda Ridwan, kakak semata wayangnya.

"Di sini saja, biar sejuk."

"Randy buatin minum dulu, Da."

"Nggak usah repot-repot, Ran. Barusan uda mampir di rumah teman kantor, sudah minum kopi. Uda kemari cuma mau tanya tentang gadis Lombok itu? Bagaimana jawabannya?"

"Belum, Uda. Mungkin masih minta pendapat keluarganya. Karena dia masih bingung mau ninggalin Lombok. Tapi Randy pikir itu bisa jadi pertimbangan Randy juga buat tinggal di Lombok."

"Ya jangan, Ran. Di sini juga anak-anak membutuhkan keahlianmu. Tapi kalau jawabannya tidak, ini uda bawa biodata lain buatmu. Kemarin Ustadz Hanafi terus bertanya tentang kapan kamu nikah. Sambil menyodorkan biodata ini. Kebetulan dia satu suku dengan kita, tapi ngajar di pondok pesantren dekat sini juga. Dia dari keluarga yang latar belakangnya sama dengan kita. Meskipun keluarganya lebih islami dibanding kita. Tapi ilmu agamanya lebih dalam ketimbang kamu. Sholeha, hafizah juga."

"Tapi Uda ..."

"Istikharah, Dik! Insya Allah kamu akan dapat yang terbaik. Uda tahu, kamu sangat mengharapkan gadis itu. Tapi apa kamu yakin, gadis itu juga memiliki perasaan yang sama denganmu? Uda takut, harapanmu sama gadis itu hanya bertepuk sebelah tangan,"ujar Uda Ridwan tanpa basa-basi.

Jelas saja kata-kata Uda Ridwan sangat menohok hati. Seperti mendapat durian runtuh yang jatuh tepat di jantungnya. Perih. Remuk seketika.

***

Saat malam semakin larut dalam buaian sunyi. Saat bunyi-bunyi makhluk lain bersembunyi di pelukan mimpi. Randy terkapar seorang diri di atas sajadah. Hatinya seperti bangunan roboh, bersimpuh dengan tangisan hati memohon ampunan, petunjuk jalan dan ketenangan hati pada Sang Ilahi.

Setelah puas mengutarakan perasaan hatinya, Randy membuka sisa-sisa chattingannya dengan Dhiya.

                      (Foto :. Dok. Pribadi)

"Saya dan beberapa teman mau ke Rinjani nanti setelah menghadiri walimahan Rara. Apa ukhty Dhiya bisa menemani mereka nanti mendaki ke Rinjani?"

"Afwan Pak Randy, saya belum bisa kemana-mana untuk saat ini. Mungkin Ukhty Dea bisa membantu Pak Randy."

"Oh, begitu. Jazakillah kalau begitu,"

Randy memegang keningnya dengan mata berkaca. Ada rasa sesak di dada saat ia membaca jawaban Dhiya.

"Apa jawaban ini artinya Dhiya menolakku? Atau aku saja yang tidak peka dengan jawaban yang tersirat di sini? Apa Dhiya sudah punya orang lain di hatinya?"
Setelah menggumam, beberapa saat kemudian Randy menggeleng.

"Ya Allah, Ya Rabbana, jauhkanlah aku dari segala prasangka. Janganlah Engkau biarkan diriku, jatuh terlalu dalam dengan perasaan yang tak semestinya ini. Salahkah aku seperti ini? Menyimpan perasaan bertahun-tahun dengan orang yang aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya padaku. Salahkah ini Ya Rabb?"

Pemuda berpostur tinggi tegap itu memejamkan mata. Bayangan wajah Dhiya bergentayangan menghantui pikirannya. Menari-nari di pelupuk mata yang tertutup. Ia tak tahu jikalau saat itu sedang bersimbah rindu.

Meski hatinya, pikirannya masih dipenuhi wajah gadis Lombok bernama Dhiya, namun Randy mencoba menguatkan hati membuka map biodata yang dibawa Uda Ridwan.

"Siti Maharani ..."gumamnya mengeja nama yang tertera di lembaran itu tanpa suara akan tetapi suara jantungnya jauh lebih riuh dan bergemuruh dalam kegalauan.

Monday, March 25, 2019

Cinta Dalam Diam ( Jejak Cinta di Tanah Korea )

                      (Foto : dok. Pribadi)
Cinta Dalam Diam
Part 1
Risna Adaminata

Pandangannya nelangsa menjurus ke gulungan ombak. Ada kata tak terungkap. Kata hati, yang merasa sepi dalam penantian. Seseorang telah sekian lama tertunggu-tunggu, tak kunjung bersua di bawah langit tak bersalju.
"Apa lu masi ngarepin dia, Han? Lelaki tanpa kabar dan tanpa kepastian itu?"
Hanifa terdiam mendengar celotehan Desi. Ia hanya bisa tertunduk. Pikirannya berkecamuk penuh dilema.
"Sampai kapan lu harus nunggu kayak orang bego di sini? Kalau memang lu serius mikirin janji kalian dulu, jual warisanmu, beli tiket dan cari dia di Korea."
"Omong kosong macam apa yang kau bicarakan, Des?"
"Lu pikir, aku gak tau kalau selama ini kamu beli kamus bahasa hangeul?"
"Itu, itu hanya untuk belajar aja, Des."
"Aku tau, Han. Arbi, dia itu baik. Tapi kita tidak bisa menjamin dia masih setia ama janjinya."
Seketika itu jua, wajah lelaki yang disebut namanya oleh Desi berkelebat di pelupuk mata.
"Emangnya kalian janjian mau nikah?"
"Enggak,"
"Terus?"
"Janji bertemu setelah lulus kuliah."
"Janji bertemu doang lu masih ngarep besar sampai sekarang? Sampai nolak si Vito?"
"Aku nolak Vito bukan karena Arbi. Tapi karena aku belum siap."
"Hmmm...bener juga sih. Vito jauh lebih ganteng dari Arbi. Cuma menang pinter doang. Tapi ini sudah tujuh tahun sejak dia ikut pertukaran pelajar ke Korea. Dan menetap gara-gara bokapnya jadi staf KBRI di Korea. Dan selama lima tahun tak ada kabar berita."
Hanifa membisu. Ia kembali menatap ombak bergulung, sementara ombak yang lain beristirahat.
****
Seminggu kemudian.
Hanifa memandangi koper yang baru saja dikunci dengan angka tanggal lahirnya dan Arbi.
Ia benar-benar berhasil tersulut hasutan Desi yang memintanya menjual warisan orang tuanya untuk pergi ke Korea.
"Aku sangat benci hal-hal yang berbau Korea. Drama, boyband, girlband. Auuuh nggak banget deh. Dan sekarang, gara-gara terjebak janji cinta pertama, aku harus kesana? Suatu kegilaan macam apa ini ya Allah?"
****
Hanifa menarik napas lega saat turun di depan gerbang KBRI di kota Seoul. Gadis itu melangkah gontai seraya menggenggam visa dan kartu tanda pengenalnya.
Gadis itu memantapkan hati untuk bertanya pada beberapa petugas yang berjaga di luar kantor.
"Assalamualaikum. Annyeong hashimnikka,"sapa hanifa.
"Ne, annyeong. Selamat siang, ada yang bisa dibantu?"
Hanifa sedikit kaget mendengar penjaga itu bisa berbahasa indonesia.
"Saya ingin nama ini, Pak. Saya tidak tahu apakah mereka masih tinggal di sini, tapi setidaknya nama mereka terdaftar di KBRI. Karena di sana, mereka bilang nama ini belum kembali."
Hanifa menyodorkan secarik kertas bertuliskan nama Arbi dan orang tuanya.
"Baiklah, kalau begitu silakan duduk dulu. Kami akan cek di bagian informasi. Mohon tunggu sebentar."
Beberapa menit menunggu, petugas tadi menghampiri Hanifa.
"Mbak dari Bogor?"
Hanifa mengangguk pelan.
"Saya dari Yogya, Mbak."
"Oh, saya pikir dari sini. Kirain bisa bahasa Indonesia karena kerja di sini harus berbahasa Indonesia. Terus darimana Masnya tau kalau saya dari Indonesia tadi?"
"Mbak kan pakai jilbab. Dan juga ini kan kedubes RI. Jadi yang kesini, cuma mahasiswa, TKW Indo sama tourist yang mau ke Indo."
Hanifa mengangguk tanda mengerti.
"Oh ya, Pak Didi Syamil masih bekerja dan tinggal di sini bersama keluarganya. Lusa adalah acara ..."petugas itu menggantung kalimatnya saat seseorang terlihat berjalan ke ruangan duta besar.
"Nah Mbak itu Mas Arbi baru datang."
Deg!
Jantung Hanifa tiba-tiba berdegup kencang. Darah seperti mengalir deras menyusupi rongga pembuluh nadinya.
Gugup, gemetar dan berbunga-bunga. Tiga rasa itu seolah berebut mengisi sosok Hanifa. Dengan hati ragu, seraya menahan napas gadis itu menoleh perlahan. Slow motion.
Seorang pemuda berpostur tinggi, berkulit putih dengan penampilan klimis melangkah pelan, mendekat ke arah Hanifa berdiri.
Gadis itu terpana. Mata yang tadinya berbinar, berubah menjadi tatapan penuh keheranan. Pandangannya lurus ke wajah pemuda dengan coat warna cokelat
"A, arbi? Anak laki-laki yang aku kenal berponi. Berkulit cokelat. Biasa saja. Kurus. Pendek. Menjadi sebaliknya? Benarkah dia Arbi yang aku kenal? Tapi, matanya ...itu milik Syamirul Arbi yang aku kenal. Senyum itu juga."Hanifa bergumam dalam hati.
"Apa dia melakukan operasi plastik? Tidak, tahi lalat di pipinya masih ada. Arbi berubah 90 derajat, apa aku hanya mimpi? Masalahnya adalah, apa dia masih mengingatku? Masih mengenaliku?"Hanifa masih sibuk bertanya-tanya dalam hati.
Mata Hanifa belum beranjak dari fokus pandangannya. Ia semakin terhenyak, kala pemuda terduga sosok Arbi, mengangkat tangan kanan dan melambai ke arahnya. Tersenyum kepadanya.
"Hanifa, sadarlah! Ini mungkin hanya mimpi. Mimpi anak jalanan yang membutuhkan cahaya hati."
Yakin bahwa Arbi mendekati dan masih mengingatnya, Hanifa dengan hati penuh kelopak bunga bertaburan membalas lambaian itu. Namun, ia terlihat ragu karena gugup. Tangannya tampak gemetar.
Dua langkah sebelum berpapasan, Hanifa menahan napas, saat menyadarj bahwa kelopak mata pemuda itu bukan tertuju padanya. Melainkan fokus ke arah lain. Tepatnya di belakang Hanifa.
Seperti tersiram air es, tubuh gadis itu seolah membeku. Tak berkutik. Malu setengah sadar. Ia memejamkankan mata agar busa mengurangi rasa malunya.
"Apa dia memalingkan wajahnya tadi? Dia melihatku. Aku melihatnya menatap mataku. Itu tatapan Arbi. Meski aku bilang bukan, itu tatapan Arbi. Dia melihatku kan? Tapi, kenapa dia mengabaikanku begitu saja?"riuh suara hari Hanifa menggema di seluruh penjuru aliran darahnya.
Ada rasa perih terasa menggenang di permukaan hatinya. Rasanya ada yang tersayat. Ada yang terluka. Namun tidak berdarah.
"Jagiya! Kau sudah datang?"sapa seseorang dengan suara begitu merdu. Suara seorang wanita.
"Ne."balas pemuda itu.
Hanifa menoleh ke belakang dan menyaksikan apa yang seharusnya dia saksikan. Pemuda itu digandeng gadis tak berjilbab seraya berjalan menuju ruangan Duta Besar.
Lemas sudah lutut Hanifa. Potek sudah hati gadis yang jauh-jauh datang melewati berbagai rintangan di tengah jalan, hanya untuk melihat pemandangan yang membuatnya baper dan galau tak berkesudahan. Harapan yang tersusun indah kini hancur berkeping-keping tanpa ingin dia punguti lagi kepingannya.
"Arbi yang dulu begitu takut saat ada wanita mendekati, kini bergandengan tangan tanpa menolak. Apa dia sudah menikah?"
Hati yang tadinya nyaris ambruk, selesai sudah. Kini, rata dengan tanah. Hanya menyisakan sesak di dada.
Sumber : cerpen karya pribadi sendiri

Sunday, March 24, 2019

Mitigasi Dan Antisipasi Bencana


(Foto: facebook.com/ Bayu Hp Alwaysinmyheart)
Bismillahirrohmaanirrohiim...
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh..
Berpikir tentang bencana kita sebagai warga negara yang bertempat di area Ring of Fire harus selalu sigap dalam segala keadaan merencanakan mitigasi sendiri.
Mitigasi itu sendiri, adalah bagaimana tindakan penyelamatan kita terhadap diri sendiri, keluarga dan orang lain ketika bencana tiba-tiba datang melanda.
Langkah pertama yang hendak kita siapkan adalah teori penyelamatan diri. Ini bisa di search di Youtube, Google dan aplikasi milik Bro Mark, yang lebih dikenal dengan Facebook. Banyak kok bertebaran di situs antah berantah dan menunggu kita untuk mencari mereka. Hoho.
(Foto: facebook.com/ Bayu Hp Alwaysinmyheart)

Ketika sudah tau teori dan tentunya mempelajari dalam segala kondisi kita harus berbuat yabg terbaik untuk keluarga terutama diri sendiri, memetakan dan memikirkan tempat paling aman untuk berlindung terutama dari bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan kebakaran.
Di Indonesia sendiri, dari tahun 2018 kita banyak mengenal macam-macam bencana selain gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir yang terbaru adalah likuifaksi.
Likuifaksi ini sendiri mencuat sejak gempa bumi dan tsunami melanda Palu dan Donggala. Sebenarnya fenomena ini sering mengiringi peristiwa gempa bumi. Dalam artian medisnya, likuifaksi ini seperti efek samping dari getaran yang kuat di dalam tanah. Namun, dahsyatnya likuifaksi di Petobo Palu membuat mata dunia tercengang dengan fenomena yang tak masuk akal ini. Apalagi dengan kondisi tanah yang di bawahnya ternyata memang bekas lautan dan juga tanah yang jenuh karena ada aliran air di atasnya tanpa diberikan lapisan semen.
Nah dengan tambahan fenomena likuifaksi ini, mau tidak mau kita juga harus menyiapkan mitigasi yang tepat jika likuifaksi tiba-tiba menenggelamkan rumah kita ke dalam tanah.
Belajar tentang bagaimana kesiapan kita menghadapi bencana bukan berarti kita berharap bencana datang. Namun, agar kita tetap waspada dan terhindar dari kepanikan saat bencana tiba-tiba datang.
Untuk artikel kali ini mungkin saya cuma akan berbagi bagaimana mitigasi yang saya persiapkan untuk diri saya sendiri. Karena kalau dibahas tuntas akan sangat panjang sekali melebihi panjang sungai Nil. Hehe.
Setiap ke suatu tempat, entah di rumah, sekolah, warung atau tempat yang biasa kita kunjungi sehari-hari, saya selalu mengecek perabotan dan benda-benda di sekeliling saya. Dalam hati saya bicara sendiri sambil berpikir,
"Oh jika gempa, saya akan berlindung di sini atau berlari disini (tergantung besar/skala gempa yang terasa).
Jika sekiranya skalanya kecil dan kira-kira tidak meruntuhkan bangunan, genteng, tembok dan lain-lain. Lebih baik segera lari ke tempat terbuka atau lapangan untuk menghindari guncangan susulan yang lebih besar lagi.
Namun, jika sekiranya begitu terjadi gempa langsung skala guncangannya sampai meruntuhkan bangunan, dan kita tidak akan sempat berlari maka cari tempat berlindung yang aman. Entah meja, kursi atau bawah tempat tidur. Pilih pojok ruangan/tiang bangunan dengan posisi tidur melengkung (kaki ditekuk) sambil melindungi kepala dengan tangan atau bantal."
Kira-kira seperti itu mitigasi untuk bencana gempa bumi.
Untuk kesempatan ini, mungkin cukup ini dulu ya.
Jika ada waktu, nanti selanjutnya mitigasi tsunami dan lain lain.
Semoga bermanfaat. Tetap aman dan selalu dalam lindungan Allah. Aamiin ya Rabbal alamiin.
Wassalam.
Risna Adaminata.

Saturday, March 23, 2019

Menangis Bersama Hujan (Part 40. Setetes Asa di Padang Gersang)



                    (Foto : dok. Pribadi)
Menangis Bersama Hujan
Part 40. Setetes Asa di Padang Gersang
By : Risna Adaminata

########

Meski ragu mencengkeram langkah kaki, Dhiya mantap menyeret kakinya ke ruang poli saraf, setelah nama yang tertera di KTP dipanggil.

"Semoga aja dokternya cewek dan gak jutek kayak Dokter Silvi."gumamnya harap-harap cemas.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Dhiya tiba-tiba tercekak saat melihat pemandangan di depannya. Baru dua langkah ia menginjak lantai ruangan periksa, kakinya seolah diikat rantai. Tak bisa bergerak.

"Innalillahi! Mati gue! Gimana nasib gue sekarang? Kenapa gue malah masih ingat wajah Dokter Silvi setelah dua tahun? Apa gue pura-pura lupa aja ya? Atau gue balik kanan aja? Ya Allah, tolong! Help me!"

"Kenapa Mbak Dhiya? Mau balik ya? Sini, silakan duduk. Alhamdulillah kita bisa bertemu lagi di sini setelah dua tahun. Gimana kabarnya sekarang? Udah jadi dioperasi?"

Dhiya menelan ludah yang terasa sepahit empedu ayam kampung. Setelah beberapa saat berpikir, gadis itu mengurung niatnya, untuk mundur dari peperangan dengan dokter jutek nan cantik jelita. Ia bertekad menghadapi Dokter Silvi dengan sisa keberanian sampai titik keringat penghabisan.

"Kalau udah dipanggil nama harus diperiksa. Jangan kabur lagi, karena bakal didenda satu em."

"Wuidih, satu em? Satu ember air kali ya? Buat nyiram tanaman depan RSU Kota. Pada kering tuh gara-gara kemarau tak berkesudahan."timpal Dhiya dalam hati.

Dhiya duduk di depan Dokter Silvi dengan sikap hati-hati dan penuh sopan santun. Senyum diatur sedemikian rupa hingga terlihat semanis madu. Melantunkan segala puja-puji, untuk mengendalikan emosi berkarat sang dokter saraf.

"Bu Dokter kelihatan makin muda saja ya? Makin cantik!"

Dokter Silvi tak menjawab. Ia sibuk menyiapkan lembar pemeriksaan. Dengan wajah dingin yang membuat Dhiya berpikir dua kali untuk mengunjungi rumah sakit. Wajah datar tak berekspresi membuat jantung pasiennya terasa menyusut. Termasuk Anindhiya Yunaza.

"Gejalanya masih seperti yang dulu? Sakit kepala, disminore, sama sakit dada?"

"Iya."

Dhiya sempat terkagum-kagum dengan ingatan Dokter Silvi tentang penyakitnya meskipun sudah dua tahun berlalu.

"Pantas saja jadi dokter. Karena dia memang pintar."bisiknya dalam hati.

"Masih sering angkat beban di kepala?"

Dhiya menggeleng pelan.

"Pernah terbentur?"

"Kadang-kadang. Tapi pelan."

"Ada keluhan lain?"

"Begini Dok, akhir-akhir ini saya sering lupa ingatan. Sering lupa tempat taruh kunci rumah. Lupa bawa dompet. Lupa barang yang mau dibeli."

"Lupa ingatan jangka pendek?"

"Mungkin itu. Tapi sering juga saat bertemu seseorang, saya seperti pernah bertemu, tapi lupa di mana tempatnya, kapan dan bagaimana cara kami bertemu. Seperti dejavu tapi lebih banyak lupanya."

Dokter Silvi terdiam. Alisnya bertaut seperti sedang berpikir keras.

"Ini sudah berapa lama?"

"Sejak dua atau tiga tahun yang lalu. Tapi lebih parahnya yang sekarang ini. Saya baca di internet itu adalah gejala Alzheimer. Dok, saya takut. Tolong bantu saya, Dok. Apa obatnya? Saya harus bagaimana? Saya juga takut ini adalah efek gejala tumor dan kanker otak."

Wajah Dokter Silvi perlahan berganti raut khawatir. Apalagi saat melihat Dhiya memelas dengan wajah mengiba.

"Dik Dhiya masih takut jarum suntik?"

Gadis itu mengangguk.

"Kalau begitu, sebaiknya Dik Dhiya diperiksa Dokter Disma saja ya."

"Dokter Dis ... Ma? Cowok?"

"Iya."

"Bu Dokter, kalau hari ini sedang sibuk, saya nggak apa-apa kesini besok. Asal jangan diperiksa dokter cowok."

"Bukan begitu. Lagian juga Dik Dhiya bukan diperiksa, hanya konsultasi saja kok."

"Tapi tetap saja nggak enak kalau cerita aib sendiri pada seorang lelaki."

Dokter Silvi menghela napas dalam-dalam.

"Begini, penyakit Dik Dhiya ini sepertinya salah diagnosa. Bisa jadi bukan seperti yang dulu saya perkirakan. Sekarang, banyak metode yang digunakan untuk mendeteksi tentang penyakit syaraf. Dan jika dugaan saya benar, Dik Dhiya bisa diobati tanpa operasi. Dokter Disma itu lulusan spesialis syaraf dari Universitas Tokyo. Satu-satunya dokter di NTB yang bisa mendeteksi kelainan syaraf pada banyak pasien yang divonis kanker otak. Dia baru beberapa bulan di sini. Tapi semua pasien dan rekan kerja memuji kehebatannya. Ini juga demi kebaikan Dik Dhiya. Masalah sembuh itu rahasia Allah. Tapi setidaknya, kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Saya akan temani Dik Dhiya di sini."

Dhiya termangu. Gadis itu merenung sejenak. Ia begitu bahagia mendengar bahwa penyakitnya bisa diobati tanpa operasi. Tapi merasa berat jika dokter yang menanganinya ternyata bukan mahrom.

Sekian lama berpikir, Dhiya segera mengambil keputusan.

"Cuma ditanya-tanya doang kan, Dok?"

"Iya. Syaratnya, Dik Dhiya harus jawab semua pertanyaan Dokter Disma dengan jujur. Meskipun itu rahasia. Kami berdua akan menjaga apa yang Dik Dhiya ceritakan."tukas Dokter Silvi.

"Baiklah."

Mendapat persetujuan gadis di depannya, Dokter Silvi segera menelpon seseorang.

"Minta tolong, panggilkan Dokter Disma ke ruangan saya. Terima kasih."

***

"Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,"

Dokter Silvi tersenyum melihat kedatangan seseorang di ruangannya.

"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, silakan duduk, Dok."jawab Dokter Silvi seraya bangkit dari tempat duduknya.

Kursi Bu Silvi kini diduduki pemuda berbaju putih, pakaian khas seorang dokter. Pakaian yang membuat mereka tampak berwibawa dan memesona setiap mata lawan jenis yang tersangkut sosok mereka.

Dokter Disma Danial kini tepat berada di depan mata Dhiya. Mereka beradu pandang. Saling menganggukan kepala sebagai salam perkenalan antara seorang dokter dan pasien. Sejenak kemudian keduanya kembali menundukkan pandangan masing-masing.

Sosoknya  nyaris sempurna. Hanya saja perawakannya tidak terlalu tinggi. Rambut lurusnya yang tebal dibelah samping, sedikit dinaikkan sehingga terlihat lebih dewasa. Matanya yang bulat dan jernih membuat Dhiya teringat sosok Randy. Apalagi saat pemuda itu tersenyum padanya.

"Wah, ini dokter apa anak SMA sih? Wajahnya bersih banget kayak teflon baru. Suaranya juga halus banget. Apa dia adiknya Randy? Hmmm, di saat begini yang terpikir malah Randy. Dasar tengil kamu, Dhiya!"pekik Dhiya membatin.

"Nah Dik, kenalkan ini Dokter Disma."Dokter Silvi mencoba menengahi kekakuan antara keduanya seraya menyodorkan hasil catatan medis Dhiya pada Disma.

"Oya, Dok. Kenalkan, ini Anindhiya. Pasien yang menghilang dua tahun lalu karena takut jarum suntik. Kalau tidak salah, Dokter pernah baca rekam medisnya di kantor sebelah (rumah sakit swasta)."

Dokter Disma mengangguk pelan tanda mengerti. Setelah beberapa detik membaca riwayat keluhan Dhiya, ia mengerutkan kening. Seperti menemukan sesuatu yang serius.

Dhiya tertunduk menahan malu, setelah sadar ternyata Dokter Disma sudah tahu tentang dirinya yang takut jarum suntik.

"Dik Dhiya nggak usah jaim. Sekarang, silakan semua keluhan disampaikan saja sama Dokter Disma. Tenang saja, Dokter Disma nggak akan tertarik dengan pasiennya kok. Karena dia sudah punya istri yang sangat cantik dan sholeha. Iya kan, Dok?"

Dokter Disma hanya mengulum senyum tipis. Setipis kulit ari.

"Apa-apaan sih Dokter Silvi ini? Biang resek sejagad raya. Gue juga gak doyan brondong. Seberapapun gantengnya dia. Tetap saja masih kecil. Lagian juga, apa hubungannya dengan dia punya istri atau nggak. Nggak ngaruh keles! Lebih ganteng juga Randy kemana-mana. Timur, selatan, barat, utara, tenggara."keluhnya dalam hati.

"Itu Mbaknya benar-benar takut jarum suntik atau pura-pura takut supaya dibilang imut?"ujar Dokter Disma santai seraya melirik si pasien.

Tentu saja gadis di depannya tampak jengkel diperolok seperti itu. Wajah yang tadinya malu-malu berubah keki. Kesal. Merengut manyun.

"Apa? Pura-pura? Pak Dokter, mana ada perasaan itu dibuat-buat. Kalau dibuat-buat itu namanya modus. Modal dusta. Saya takut jarum suntik itu sejak kecil. Mungkin sejak dalam kandungan saya sudah takut disuntik. Jangan dibilang mengada-ada. Dibilang pura-pura untuk jadi imut. Sebenarnya Pak Dokter ini mau periksa atau mengolok pasien?"

Dokter Disma yang sempat kaget mendengar rentetan kata-kata pembelaan diri dari Dhiya, malah tersenyum sembari menutup wajah dengan tangan kiri.

"Ini dokter, masih kecil aja udah begini. Gimana dewasanya ntar? Benar-benar ngajak ribut. Awas aja!"oceh Dhiya berbisik.

Dokter Silvi yang menjadi penonton setia, hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Dhiya. Ia menahan tawa, melihat gadis yang tadinya grogi kini berani angkat bendera perang badar dengan Dokter Disma. Padahal dokter syaraf lulusan Jepang itu sudah bertanya dengan nada sehalus sutera.

"Bukan begitu, Mbak. Pertanyaan saya memang bagian dari test psikologi untuk mendeteksi spesifik penyakit yang Mbaknya derita. Jadi bisa dijawab dengan ya atau tidak. Karena ada pertanyaan lanjutan."

"Memangnya ada pertanyaan kayak gitu dalam ilmu kedokteran?"tanya Dhiya berbasa-basi untuk membuang rasa malu yang terlanjur menggulungnya.

Si Dokter tampan mengangguk.

"Kenapa Mbak takut jarum suntik?"

"Itu karena dalam pikiran saya, kalau lihat orang disuntik itu bakal kena tulangnya. Kan bisa sakit dan cacat."

"Jadi Mbak juga takut lihat orang disuntik?"

"Iya."

"Kalau lihat orang terluka juga nggak berani?"

"Nggak berani."

"Kenapa?"

"Badan saya ikut sakit kalau melihat orang terluka. Ikut merasa ngilu. Lalu terbawa mimpi sampai nggak bisa tidur."

"Sering insomnia?"

Dhiya mengangguk.

"Lutut, pundak sama tengkuk sering sakit?"

"Kadang-kadang."

"Ada gangguan penglihatan?"

"Iya. Silinder dan minus. Kadang juga kalau kena cahaya, sering kelihatan gelap."

"Kenapa Mbak tidak menceritakan masalah ini sama keluarga? Dan kenapa Mbak mau periksa lagi setelah dua tahun? Bukankah itu bisa membahayakan hidup Mbak? Tolong ceritakan semuanya."

"Bukankah itu sangat pribadi? Apa hubungannya dengan penyakit saya?"

"Iya. Hubungannya pasti ada. Ini demi kesembuhan penyakit Mbak."

Dhiya terlihat ragu-ragu. Perlahan, ia mengangkat wajah. Memberanikan diri menatap Dokter Disma yang sejak tadi menunggu ceritanya.

"Sebenarnya, kedua orang tua saya sudah meninggal. Saya punya dua kakak lelaki. Yang sulung sudah menikah dan punya anak. Yang satunya masih jomblo. Dia bilang akan menikah setelah saya menikah. Saya tidak memberitahu mereka tentang kondisi saya karena takut mereka akan terbebani."

Dhiya mulai terbawa emosi. Matanya berkaca-kaca. Begitu juga Dokter Silvi. Sedangkan Dokter Disma terpaku dengan wajah simpati.

"Lalu, ingatan saya jadi berkurang. Konsentrasi juga buyar. Setiap perkataan orang tak bisa saya mengerti. Tiba-tiba saya takut, terkena alzheimer. Saya takut lupa sholat. Saya takut lupa pakai jilbab kalau keluar rumah. Selama dua tahun, saya siap dengan resiko meninggal tiba-tiba. Tapi saya tidak siap untuk lupa ingatan. Karena itu saya melawan ketakutan, untuk datang kesini."

"Selain dalam sholat, Mbak cerita sama siapa lagi tentang masalah ini?"

"Minow."

"Pacarnya Mbak?"Dokter Disma terlihat menyelidiki.

"Saya nggak menganut agama pacaran, Pak Dokter. Minow itu kucing saya."

Wajah si dokter tampak lega. Ada binar-binar aneh tersirat di matanya.

"Tapi seminggu yang lalu, sahabat kakak saya berniat mengkhitbah saya. Dia, orang yang saya sukai sejak lama. Kami tidak pernah kontak lagi selama dia pulang kampung di Padang. Saya ingin menerima, tapi masih terbelenggu keraguan karena penyakit ini. Kemudian saya sholat istikharah, dan hati saya mantap memilih untuk periksa dan memastikan kondisi kesehatan dulu. Baru mungkin saya akan tenang memberikan jawaban."

Ada yang berbeda dari raut wajah Dokter Disma. Mendengar pengakuan tiba-tiba dari pasiennya. Terkejut sekaligus tampak merana. Namun, itu tak berlangsung lama. Senyumnya kembali mengembang. Senyum yang membuat semua pegawai rumah sakit yang masih jomblo terpesona. Bahkan yang sudah menikah dan punya anakpun sering mencuri pandang ke arahnya. Tak heran jika Dokter Silvi menjulukinya senyum penakluk hati wanita. Sosok pemuda mirip Aliando. Aliando versi dewasa dengan rambut lurus.

"Ini sepertinya Mbaknya menderita Fibromyalgia Syndrom. Tapi, kita perlu memeriksa gejala lain juga. Selain itu harus cek darah. Minggu depan, silakan kembali kesini. Siapkan mental dan materi. Ini diagnosa sementara sampai kita melakukan pemeriksaan lanjutan."

"Tapi daya masuk kerja, Dok."

"Kalau begitu, sorenya bisa ke klinik Strawberry. Saya tulis alamatnya dulu."

"Fibromalgia itu apa Dok? Apa itu sangat berbahaya?"

"Fibromyalgia. Bukan malgia. Yang jelas penyakit itu bisa diobati tanpa operasi. Tapi pengobatannya bisa berbulan-bulan, biaya juga tinggi. Jadi harus cuti kerja. Tapi kita coba dulu setiap mbak libur, sore atau malam diterapi. Mbak bisa beri tahu calon suaminya langsung. Bisa nanti setelah periksa darah. Bisa juga sekarang. Kalau dia menerima Mbak, dengan kondisi begini. Artinya kan Mbak nanti ada yang menemani berobat."

"Alhamdulillah. Jadi benaran bukan Alzheimer?"

"Insya Allah bukan."

"Terima kasih banyak, Dok."

Bukan main senangnya hati Dhiya mendengar perkataan Dokter Disma. Ia kini kembali mampu membangun puing-puing harapan yang sempat runtuh beberapa hari yang lalu. Sosok Randy yang menunggunya di pelaminan, terbayang begitu saja. Seolah melambaikan tangan menyambut kedatangannya.

"Astaghfirullah. Aku pasti sudah gila sampai memikirkan hal itu!"

Dhiya kemudian pamit meninggalkan ruangan Dokter Silvi, setelah menerima selembar kertas berisi alamat klinik syaraf dari Dokter Disma.

Sepeninggal Dhiya, Dokter Disma dan Silvi berpandangan. Kedua dokter yang terpaut usia 10 tahun, berdiri di pintu melihat langkah riang pasien mereka.

Dokter Silvi heran melihat Disma yang terus tersenyum mengantar kepergian Dhiya.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu, Dik? Baru pertama kali bertemu spesies langka yang lucu seperti gadis itu ya?"

"Iya. Mbak. Bukan itu saja. Saya merasa ikut bahagia bisa menolong dia keluar dari beban pikiran yang begitu berat."

"Kalau memang jatuh hati, langsung aja ke rumahnya."

"Ah, Mbak Silvi ada-ada aja. Tadi kan dengar sendiri kalau dia udah dikhitbah orang yang dia sukai. Dan Mbak juga bilang, saya udah punya istri."

"Ya itu kan supaya dia nggak grogi ditanya dokter jomblo."

"Tapi terima kasih ya, Mbak. Dengan begitu, setidaknya beban pikirannya sudah berkurang dengan mengungkapkannya pada yang lain. Masalah seberat itu dia simpan sendiri. Benar-benar kuat."pungkas Disma seraya memasukkan kedua tangan ke dalam kantung jas.

Dokter Silvi melongo menatap Disma yang berlalu meninggalkannya di pintu. Ia memicingkan mata. Menebak apa yang ada dalam pikiran juniornya itu.

"Dari sekian banyak pasien cantik, rekan kerja cantik yang mengakui perasaan mereka sama dia, Disma hanya tersentuh dengan Dhiya? Gadis selengekan, kolokan dan emosian itu? Dunia memang mau kiamat. Dan saya baru bisa melihat, hal yang tak biasa di wajah Disma. Sayangnya, Dhiya udah terang-terangan bilang dia udah dikhitbah. Tapi, yang namanya jodoh, siapa yang tahu. Entahlah."lirih Dokter Silvi berspekulasi sendiri.

***

Di lantai dua, Dokter Disma berdiri terpekur. Menatap pemandangan dari dalam jendela kaca. Terlihat dari kejauhan, tepatnya di jalan raya. Sosok gadis yang baru saja ia hadapi sedang membantu seseorang menyeberang di jalan raya nan padat merayap.

Beberapa saat kemudian, gadis itu memunguti sampah berserakan di trotoar dan memasukkannya ke dalam tong sampah.

Disma menghela napas saat Dhiya naik angkutan umum. Ia kembali ke tempat duduknya. Seperti ingat sesuatu, pemuda pemilik alis tebal itu segera merogoh kantong ransel yang ia taruh di bawah meja.

Dokter berdagu lancip itu menggenggam erat gantungan kunci strawberry yang ia ambil dari ransel. Ia tersenyum memandang benda itu. Seperti sesuatu yang sangat berharga tersimpan di dalamnya.

"Maafkan aku, karena belum bisa mengembalikanmu pada pemilikmu. Mungkin waktunya yang tidak tepat," desahnya dengan tatapan nanar.

Menangis Bersama Hujan (Part 39. Setangkai Bunga Takdir)



                             (Foto:dok. Pribadi)
Menangis Bersama Hujan
Part 39. Setangkai Bunga Takdir
By Risna Adaminata

***
Hamas memandang takjub hamparan tulip bak permadani alami di depan mata saat dalam perjalanan pulang menuju asrama mahasiswa Indonesia di Istanbul, Turki. Jadwal kuliahnya yang padat ditambah jadwal kerja sampingan sebagai mentor tahfiz Alqur'an di beberapa sekolah dasar, membuatnya tak begitu leluasa menikmati pemandangan alam gratis yang terhampar hampir di setiap penjuru kota.

"Masya Allah Tabarakalloh, betapa indahnya Allah menciptakan warna. Ini masih kuncup saja sudah memukau seperti ini. Apalagi saat mekar nanti. Apalagi saat festival tulip di Emirgan. Suasananya akan semakin membuat hati mengagumi Sang Pencipta."

Tak henti-hentinya Hamas berdecak kagum dengan untaian zikir dari lisan dan hati. Matanya berbinar dengan senyum menawan.

Tiba-tiba ia menyingsingkan lengan baju melihat bulatan yang melingkar di pergelangan tangan. Pemuda itu tampak melempar pandangan sekali lagi pada anggunnya tangkai jenjang bunga tulip yang berjarak 5 meter darinya. Padahal ingin sekali ia mengabadikan hal tersebut dalam ponsel, namun waktu tak mengizinkan.

Dengan langkah berat Hamas meninggalkan tempat itu menuju asrama.
***
"Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,"

"Wa'alaikumsalam, Mas."

"Dinda mana, Dik?"

"Tidur siang,"

"Ini sudah sore, kok masih dibiarin tidur?"

"Ya kan Dindanya masih lelap tidurnya, masak mau dipaksa bangun? Nanti kalau rewel bagaimana? Yang rempong, Diva juga kan, Mas?"timpalnya sedikit kesal.

"Maksudku, jadwal tidurnya itu diatur, jangan dibiarkan kelewatan. Agar tidak terbiasa sampai besarnya nanti. Kalau dibiarkan semaunya kan bisa jadi kebiasaan buruk nanti."

"Dindanya kan masih bayi, Mas. Baru satu tahun juga. Masak sudah diatur-atur dari sekarang. Kasihan kan. Nanti juga pas besar dia berubah kok."

Hamas terdiam. Padahal ia baru saja ingin mengajak Diva dan Dinda untuk pergi liburan ke Emirgan di sela-sela jadwal kerjanya yang padat. Diva biasanya tidak seperti ini reaksinya ketika ditegur tentang didikannya pada Dinda, putri pertama mereka.

Hamas juga pernah menyarankan Diva untuk menyampaikan sejak dini tentang Alqur'an pada Dinda. Tapi Diva tetap membantah dengan alasan, anak kecil tidak boleh dipaksa otaknya untuk belajar sesuatu yang sulit seperti menghafal Alqur'an. Kemudian ia memilih untuk tetap membaca dan menghafal Alqur'an di saat Dinda sudah terlelap ketika pulang kerja. Ia juga merasa malas untuk terus berdebat dengan Diva yang selalu merasa benar sendiri.

Saat di kamar Dinda, Hamas yang sedang asyik menatap wajah kecil serta imut di depannya. Ia mencium pipi bakpau Dinda dan berharap gadis mungil itu bangun menyambutnya datang. Namun ia memutuskan untuk ganti baju terlebih dahulu agar bisa bermain dengan sang putri.

"Mas, tau gak, aku dengar kalau Rara akan menikah bulan depan," ungkap Diva tampak bersemangat.

Hamas yang sedang membereskan sepatu dan celana setelah ganti baju sempat tertegun sesaat mendengar cerita Diva barusan.

"Aku pikir dia belum move on setelah kejadian dua tahun silam. Ternyata dia sudah menemukan tambatan hati. Dan palingan juga Mbak Shibaa yang carikan,"

"Lalu, tujuanmu membahas Rara di depanku untuk apa? Dia menikah bukan urusan kita kan. Selain mendoakannya?"

"Iya itu maksudku, Mas. Aku ingin Mas mendoakannya dan jangan berharap lagi untuk menikah dengannya. Apalagi poligami. Aku rasa Mas juga masih memiliki perasaan untuk Rara," jawab Diva ketus.

Hamas mendadak merasa pening. Ia memegang dahinya yang tampak menahan emosi. Karena ia merasa sangat lelah.

"Kapan aku pernah bilang kalau aku mau poligami, Div? Aku tidak punya ilmu setinggi itu untuk berpoligami. Bahkan di setiap kita saling bentak, aku hanya berpikir mengalah untuk tidak berpolemik denganmu. Kenapa kau selalu bawa-bawa nama Rara dan Dhiya di kehidupan rumah tangga kita? Sudah cukup, Div! Aku mau istirahat," pungkasnya dengan suara bergetar.

Hamas yang terkenal sopan, ramah dan lembut di kalangan rekan PMK, baru kali ini menunjukkan sisi emosionalnya yang benar-benar tak bisa ia kontrol. Sebagai istri yang hidup 2 tahun lebih bersama Hamas, Diva begitu terkejut sampai melongo seperti orang linglung menyaksikan sang suami marah-marah.

Puas melampiaskan isi hati, Hamas segera masuk ke kamar mandi tanpa menoleh ke arah Diva.

Bukannya merasa bersalah, Diva semakin terlihat kesal dan mendendam.

"Semua ini gara-gara mereka berdua! Mas Hamas pasti marah karena masih memiliki perasaan sama Rara. Mereka memang tidak ada di sini, tapi masih saja menjadi duri dalam kehidupan rumah tanggaku yang bahagia. Awas aja kalian! Tunggu saja pembalasanku!"geram Diva seraya mengepalkan tangannya.

***

Dhiya uring-uringan menghadapi setumpuk pekerjaan kantor yang belum selesai dijamah sejak kemarin.

"Perasaan, gue kerjanya begini-begini doang. Cek kertas, masukkan laptop. Cek kertas, masukkan laptop. Nggak kreatif banget. Sekali-kali cek kertas, jungkir balik gitu kan. Akan jadi fenomena dahsyat seperti si Syahrini," gumam Dhiya seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Jenih dengan pekerjaannya, Dhiya memilih untuk mengambil air wudhu dan menunaikan sholat terlebih dahulu untuk menenangkan hatinya dari segala tekanan pekerjaan yang minta diurus segera.

Namun, saat akan menuju kamar mandi, suara deringan ponsel Anan memecah pikirannya. Ia langsung menuju kamar Anan yang tak dikunci dan menyambar benda elektronik itu setelah melihat siapa yang memanggil sang kakak di layar.

"Assalamualaikum, Kak Adam! Apa kabar?"

"Waalaikumsalam. Lho, Anan kemana Dik?"

"Ke masjid sholat berjamaah. Ada apa?"

"Iya, Anan tadi pagi nelpon kakak. Katanya ada yang mau dibicarakan. Cuma kakak lagi seminar. Jadinya nggak sempat angkat."

"Ya udah, nanti Dhiya sampaikan biar Kak Anan nelpon lagi."

"Dhiya sehat?"

"Alhamdulillah sehat, Kak."

"Oke kalau begitu, kakak sholat dulu ya,"

"Sip, Kak. Titip doa buat Palestina ya, Kak. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh."

"Insya Allah. Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh."

Saat Dhiya ingin meletakkan ponsel Anan, layar yang kembali ke posisi semula tanpa sengaja tertangkap retina Dhiya. Jelas saja gadis itu kegirangan melihat obrolan Anan dan nomornya Randy melalui pesan singkat.

"Kak Anan kan baru 5 menit yang lalu perginya. Baliknya ntar sekitar 15 menit lagi. Jadi untuk balas dendam a
kibat perbuatannya kemarin, halal dong smsnya aku baca. Biar impas!" ujar Dhiya mulai melancarkan aksinya.

"Antum serius, Akhi? Kalung berlian itu untuk adik ana yang pecicilan itu? Sebagai tanda pinangan?"

"He he. Antum sudah tanyain ke Kak Adam kan? Atau mungkin Ukhty Dhiya belum siap?"

"Ini lagi berusaha menghubungi Kak Adam, tapi sepertinya masih sibuk. Kalau tentang Dhiya, sepertinya tidak masalah. Yang penting lewat Kak Adam dulu baru ke Dhiya. Antum banyak-banyak berdoa saja selain tahajjud dan istikharah."

"Baiklah Kak. Jazakalloh khairan katsir. Apapun jawaban Dhiya nanti, insya Allah ana terima dengan ikhlas."

"Mantap. Insya Allah nanti ana berikan jawaban dari Kak Adam maupun Dhiya. Ana mau pergi sholat dulu di masjid."

"Oke, fii amaanillah ya. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh."

"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh."

Gemetar tangan Dhiya yang masih memegang ponsel Anan. Jika ia tak cepat sadar, ponsel itu bisa jadi jatuh berserakan di lantai. Ia hampir berteriak, namun telapak tangan kiri segera membekap mulutnya sendiri agar tak kelolosan.

Mata gadis itu berkaca-kaca. Entah bahagia, entah kaget, entah terharu bahkan menganggapnya taknmasuk akal.

"Ini pasti mimpi! Aku yakin ini mimpi!" pekiknya masih tak percaya seraya menampar pipi sendiri.

"Randy, meminangku? Impossible!" gumamnya lagi seperti kerasukan.

Ia segera meletakkan ponsel Anan sembarangan lalu berlari tunggang langgang menuju kamar mandi.


Menangis Bersama Hujan ( Part 41. Dilema Tak Berujung )

Menangis Bersama Hujan

Menangis Bersama Hujan
Part 41. Dilema Tak Berujung
Risna Adaminata

***
Dhiya masih diam membisu di depan kedua kakak lelakinya. Wajahnya tertunduk memikirkan apa yang harus ia ungkapkan sebagai alasan mengenai niat pinangan Randy. Ia masih berat hati mengatakan jika kondisinya sedang dalam perawatan dokter.

"Bagaimana hasil istikharahmu, Dik? Karena kita harus memberi jawaban untuk Randy supaya bisa menyiapkan segalanya sejak dini. Apakah kamu menerimanya?"

"Aku menerimanya, Kak. Tapi tolong, minta waktu 3 bulan untuk menyelesaikan urusanku di sini. Baru aku benar-benar siap untuk meninggalkan Lombok."

"Jadi maksudmu, kita akan bilang kalau kamu tidak menolak Randy. Tapi kita juga minta waktu 3 bulan untuk dia kesini bersama keluarganya? Begitu?"

"I, iya ... Kurang lebih seperti itu. Tapi ..."

"Tapi kenapa?"

"Apa Dhiya tidak egois jadinya  jika memintanya Randy untuk menunggu 3 bulan lagi? Sedangkan umurku, belum tentu sampaikan di sana."

"Hei! Kenapa kamu bicara begitu, Dik?"

"Ya kan kita tidak tahu rahasia Allah, jodoh, maut, dan rizki itu semuanya Allah yang mengatur. Nanti kalau dia menunggu sampai 3 bulan, lalu aku kenapa-kenapa gimana? Misalnya, malah nikah sama orang lain atau segala macam, gimana? Dhiya tidak ingin mengecewakan karena meminta mereka menunggu, Kak."

Anan menggeleng. Ia merasa pusing dengan keinginan adik semata wayangnya.

"Kamu sudah istikharah kan?"

Dhiya mengangguk pelan.

"Terus hasil istikharah itu, kamu menerima Randy tapi tidak dalam waktu dekat. Tapi kamu tidak mau meminta Randy menunggu, alias gak bilang sama dia kalau kamu menerima dia agar dia tidak berharap? Alias kamu ingin menggantung di tanpa arah yang jelas mau dibawa kemana pinangannya? Atau kakak jawab aja kalau kamu minta waktu istikharah 3 bulan saja untuk mempertimbangkan pinangannya? Begitu?"oceh Anan dengan nada mulai meninggi.

"Dik, kamu mengurus apa sih sampai 3 bulan baru bisa siap? Coba dipikirkan lagi. Kalau memang tidak terlalu penting, jangan terlalu dibesar-besarkan. Kalau kamu memikirkan Anan, kakak rasa Anan baik-baik saja kok ditinggal sendirian."sambung Adam.

"Ngapain aku mikirin Kak Anan? Ini karena aku memikirkan diriku sendiri, Kak. Memikirkan Randy juga. Karena mau nggak mau, jika aku menikah dengan Randy dalam kondisi penyakit nggak jelas macam begini, aku takut bukan Randy saja yang akan menjadi korban, keluarganya dan kakak berdua juga bisa ikut jadi korban repot dengan kebutuhan perawatanku. Aku ingin menyelesaikan sendiri masalahku tanpa merepotkan orang lain, itu saja Kak. Tolong mengertilah," jelasnya dalam hati karena lidahnya begitu kelu mengungkapkan semua itu di depan sang kakak.

"Kenapa kamu harus memilih jalan begitu rumit dan memusingkan seperti ini, Dhiya?"gerutu Anan.

***

Saat Adam sudah pulang, Anan kembali mencoba menanyakan dan mengubah keputusan Dhiya.

"Dik, apalagi yang kamu tunggu? Kamu cukup bilang sama Randy, kamu menerima pinangannya. Selesai masalah. Dari pada kamu gantungin nggak jelas begitu."

"Memangnya cucian pakai digantungin segala."

"Lah iya makanya. Kamu sih nggak tahu bagaimana perjuangan kakak membela kamu di teman-teman kampus yang pernah ingin meminangmu juga. Tapi kakak tolak dengan mengatakan kamu belum siap nikah. Karena kakak tahu Randy punya perasaan padamu. Dan belakangan kakak juga tahu, kamu juga ada hati sama dia. Sekarang Allah kasih kesempatan sama kamu, tapi kamu sia-siakan? Itu kamu ... Aah, kakak nggak tahu lagi dah! Terserah sudah. Nanti kalau Randy berubah pikiran, bagaimana?" Tanyanya ketus dengan wajah agak kesal bercampur kecewa.

Dhiya terdiam. Gadis itu menarik napas dalam-dalam mendengar ungkapan kekesalan Kak Anan. Tanpa bisa dipungkiri, seperti terasa ada kepingan hatinya yang retak ketika ia memikirkan Randy malah memilih gadis lain nantinya.

"Tapi aku lebih tidak mungkin lagi menikah dengan Randy dengan kondisi seperti ini. Lalu nanti setelah menikah nanti, orang yang paling menderita dengan keadaanku ini adalah dia. Ya Rabbana beri aku jalan. Berikan yang terbaik untuk kami. Aku hanya tidak mau serakah dan mendzolimi Randy dengan menyuruhnya menunggu. Sedangkan takdir hidupku entah sampai kapan." Dhiya membatin sembari mengusap setetes bening embun di pipinya.

***
Dhiya mengaduk-aduk nasi dengan daging ikan tongkol yang baru saja digoreng untuk sarapan Minow. Ia juga segera menyiapkan sarapan untuk Kak Anan yang sedang mandi. Ia sendiri tinggal pakai baju sepatu lalu berangkat ke kantor.

"Kak, Dhiya berangkat duluan ya. Soalnya mau upacara."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan ya," sahut Kak Anan dari kamarnya.

"Enggih. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh."

Minow mengikuti langkah Dhiya sampai 500 meter dari rumah. Ia menemani Dhiya jalan kaki sampai menemukan angkutan umum. Kadang-kadang Dhiya menggendongnya sembari diajak ngobrol sepanjang perjalanan, kemudian dilepas lagi saat sampai di tempat angkot biasa lewat.

Supir angkot sering tertawa geli melihat tingkat Dhiya yang suka melambaikan tangan ke arah Minow.

"Itu kucingnya nanti pulang ke rumah sendiri ya, Mbak?"

"Iya, Pak. Pastilah dia tahu jalan pulang."

"Dia kayaknya sayang banget sama Mbak. Kucing yang kayak gitu langka. Biasanya mendatangkan rizki, Mbak."

"Aamiin. Hehe."

Di tengah perjalanan, seorang penumpang laki-laki dengan rambut yang tampak memutih seluruhnya naik perlahan dengan tubuh ringkih dan duduk di depan Dhiya. Gadis itu tiba-tiba teringat sang ayah melihat kerutan wajah orang tersebut.

Beberapa saat kemudian, bapak berusia sekitar 65 tahun itu turun di pasar seraya menyodorkan selembar uang lima ribu rupiah. Namun, Dhiya telah lebih dulu memberikan selembar uang sepuluh ribuan kepada supir angkot.

"Ini ongkosnya, Pak. Uangnya dibawa saja ya. Nanti buat ongkos pulang."

Ta ... pi ... Nak,"

"Nggak apa-apa. Hati-hati di jalan ya, Pak."

Bapak itu mengangguk pelan sambil tersenyum simpul kepada Dhiya sebagai ucapan terima kasih.

"Mbak tahu kalau bapak itu non muslim?"

"Tahu kok,"

"Kenapa mbak mau ongkosin?"

"Kalau memang niat menolong orang, kan nggak perlu pakai bertanya dulu sama orang yang mau ditolong, apa agamanya, apa sukunya, apa negaranya. Jika ikhlas, menolong itu tak harus pandang bulu. Bahkan jika orang yang pernah menjahati kita minta pertolongan, seandainya kita bisa tolong dan tidak memberatkan kita, nggak ada salahnya kan kalau kita tolong? Siapa tahu nanti dengan begitu mereka bisa sadar dan tidak jahat lagi."

"He he. Iya, Mbak. Benar banget. Tapi emang berat sih punya hati seperti itu. Ringan di bibir berat di hati."

"Pinterrrr. Hehe."

Sampai di persimpangan jalan kantor, Dhiya turun dan jalan kaki 20 meter dulu baru sampai di halaman kantor. Tempat itu masih tampak lengang. Karena memang Dhiya orang nomor dua yang tiba di kantor setelah security.

Risna Adaminata
(Foto : dok. Pribadi)

Thursday, March 7, 2019

Novel : Menangis Bersama Hujan (Part 33. Tinggal Rindu Tinggallah Kenangan)

Menangis Bersama Hujan
Part 33
Risna Adaminata

Saat fajar menyingsing, Dhiya sudah selesai mengacak-acak dapur. Ia sangat bersyukur persediaan sayur masih ada. Membuat nasi goreng dengan tumis buncis. Di hiasi telur mata sapi.

Sebelum matahari terbit, Dhiya meninggalkan rumah setelah pamit pada Miming dan anak-anaknya. Baru kemudian ia mengirimi Anan sms jika ia sudah berangkat ke sawah.

Gadis itu menghela napas. Menatap mentari yang tak kunjung menyinari. Mendung pekat menghalangi jalan sinarnya.

"Kok tumben mendung hitam bulan Juni? Apa ini pertanda hujan atau hanya mendung pencipta galau?"gumam Dhiya seraya memetik buah mentimun.

Tidak lama kemudian, gerimis mulai menyapa bumi, yang telah lama dinaungi kemarau. Dhiya menengadah. Merasakan sejuknya bunga-bunga gerimis mengenai wajah. Namun, suara petir menggelegar mengacaukan segalanya.

Dhiya segera memasukkan sayur yang sudah dipetik ke dalam plastik, untuk segera dibawa pulang. Semenjak gadis itu marahi Dokter Silvi beberapa bulan yang lalu, ia tidak pernah lagi membawa bakul ataupun beban di kepalanya.

Gadis berjilbab kaos cokelat itu, bergegas meninggalkan pematang sawah. Ia dapat melihat tanda-tanda hujan lebat akan mengguyurnya jika terlambat sampai rumah. Apalagi jarak sawah ke rumah lebih dari tiga kilometer.

Terlambat, baru beberapa meter keluar dari area persawahan warga, butir-butir hujan sebesar biji jagung sudah menghujam tubuh langsing gadis itu tanpa ampun.

Tanpa menunggu waktu lama tubuh kecil itu sudah basah kuyup. Menggigil di bawah pohon nangka di pinggir jalan. Hujan yang ia rindukan, tiba-tiba menjadi begitu menakutkan. Seolah, tetes-tetesnya hanya menyerang dan menyerbu dirinya seorang. Belum lagi hantaman angin dingin, yang terus menerpa.

Awalnya, Dhiya berpikir untuk berteduh dulu di bawah pohon nangka sampai hujan reda. Namun entah kenapa, nalurinya seperti mendorong untuk segera pulang. Hatinya tiba-tiba meracau. Risau. Gelisah.

Ponsel yang sudah terkena percikan hujan tiba-tiba berbunyi. Dhiya mati-matian melindungi dengan telapak tangan agar benda elektronik itu tidak ikut basah. Ia mengangkat panggilan seseorang.

"Ya, waalaikumsalam, Kak. Ada apa?"

"Kakak lagi di auditorium, nemenin Randy wisuda dan mungkin langsung antar dia ke bandara. Jadi takutnya kamu minta jemput nanti. Asal kakak udah informasikan,"

Kini, bukan tubuh Dhiya saja yang menggigil. Namun, hatinya ikut membeku seketika. Suara petir bersahutan menambah kacau pikiran gadis itu. Takut. Gelisah. Bahkan kesedihan tiba-tiba menyeruak seolah berteriak padanya.

Tanpa disadari, plastik sayurnya terlepas dari genggaman.

"Kak,"

"Iya, ada apa? Hujannya besar ya di sana? Di sini cuma gerimis."

"Kak ... Kakak ..."

"Iya ada apa? Suaramu nggak jelas sama bunyi hujan! Ya udah, assalamualaikum,"

"Kak, hati-hati di jalan ...Waalaikumsalam," lirih suara Dhiya tenggelam oleh hujan.

Ia menutup panggilan sang kakak dengan wajah penuh penyesalan. Penuh kesedihan.

"Hati-hati di jalan juga, Randy ..."ucapnya getir bersama sesak di dada.

Meski terasa berat, Dhiya menunduk mengambil plastik sayur yang terjatuh di tanah. Plastik itu kotor kena percikan lumpur. Dengan mata nanar, ia memaksa kakinya untuk melangkah. Melangkah bersama derai hujan. Menangis bersama hujan.

***
Dhiya terus berjalan walau serangan hujan terus mendera.

Dalam hujan, gadis itu terus berpikir, tentang ke-egoisannya. Tentang semua hal yang terasa sangat salah dalam diri. Tentang kebenaran dan kesalahan, dalam hal sikap yang tak mampu orang-orang terima. Dan kini ia menangis. Menangisi kepergian Randy tanpa sempat mendengarkan ucapan permintaan maafnya.

"Apa karena kata-kataku kemarin, yang menyebabkan dia pergi? Ah tidak mungkin. Lagian kenapa aku harus menangis? Emangnya dia siapa? Toh juga dia tidak akan mendengar semua ini. Toh juga dia tidak akan tau apa-apa. Sudahlah Anindhiya! Pikirkan saja bagaimana kamu membantu rakyat Palestina dan Rohingya agar merdeka dari para zionis biadab itu! Berhentilah memikirkan hal yang membuat hatimu lemah. Ini bukan Anindhiya yang aku kenal! Cukup doakan, agar Allah selalu menjaganya dan membahagiakannya dimanapun dia berada,"isaknya mencoba menguatkan diri.

Sampai di rumah, tanpa sempat untuk mengganti pakaiannya yang basah, Dhiya langsung menemui Miming. Alangkah terkejutnya gadis itu, mendapati Miming tidak berada di tempat tidurnya. Bahkan ketiga anaknya juga menghilang. Ia mulai panik.

"Miming? Minow? Minnie? Milow? Di mana kalian?"teriaknya dengan suara gemetar.

Dhiya menyusuri semua sudut rumah yang biasa digunakan Miming dan ketiga anaknya untuk bermain. Dadanya mulai sesak. Ia kembali terisak.

"Me ...ong! Me ...ong!"

Dhiya segera bangkit mencari arah datangnya suara itu. Ia mendapati Minow ada di balik pintu rumah. Tubuh mungilnya tampak kotor oleh lumpur. Dhiya segera mengambil handuk kecil, membersihkan bulu Minow agar tidak kedinginan.

"Minow, ibu dan adik-adikmu di mana?"

"Me ..ong!"sahut kucing itu memejamkan matanya.

Minow tampak sedih. Dhiya dapat merasakannya. Gadis itu berpikir untuk mencari Miming dan dua anaknya.

"Kamu diam di sini ya. Aku akan mencari ibumu,"

Tanpa memedulikan tubuhnya yang sudah menggigil kedinginan, Dhiya menerobos hujan tanpa memakai payung. Ia berlari ke luar rumah. Mencari Miming ke seluruh penjuru desa.

***

"Apa antum akan kembali ke Lombok?"tanya Anan di bandara sesaat sebelum Randy masuk.

"Untuk saat ini, ana belum punya alasan yang tepat untuk kembali, Kak. Terima kasih atas semua kebaikan antum selama ana berada di Lombok,"

"Antum sudah ana anggap seperti saudara sendiri, akh. Jangan berkata seperti itu seolah-olah kita ini orang lain,"

"Jangan lupa undang ana ya akh, kalau antum menikah. Siapa tau ana rindu Lombok dan akan ana usahakan untuk datang."

"Insya Allah, antum juga. Semoga cepat menemukan tulang rusuk antum,"

Randy tampak gelisah. Ia seperti ingin menyampaikan sesuatu pada Anan. Tapi bibirnya mendadak kelu. Ia gugup. Kaku.

Dengan langkah gontai pemuda bermata bulat itu masuk, setelah berpelukan dengan Anan. Dua bulir bening mengiring langkahnya.

Di pesawat, di atas ketinggian ribuan meter. Randy memandang nanar pemukiman Lombok, mulai menghilang ditutupi awan. Hanya dia dan Allah yang tahu kecamuk hatinya. Bayangan kenangan di Lombok, berduyun-duyun memenuhi kelopak mata.

"Beginilah akhirnya. Aku yang datang dari jauh dalam keterasingan, tak seorang pun mengenalku. Kembali pun, tiada yang merasa kehilangan. Itu bagus. Tak terasa hampir 4 tahun lamanya berada di sini. Daerah yang dulu terasa asing, namun tak jua ingin berpaling. Wilayah yang dulu hanya bisa dibayangkan, kan kembali hilang menjadi kenangan. Bolehkah kembali ke sini lagi, atau hanya asa yang bisa menghampiri? Selamat tinggal kawan, sahabat, kerabat, saudara dan juga Anindhiya."

Mata pemuda berhidung mancung itu berjelaga. Hujan di Lombok siang tadi seolah mewakili airmata di hatinya. Kini yang tersisa adalah rasa rindu. Rindu yang akan selalu menjelma menjadi doa dalam sujud-sujud panjang di malam buta.

***

Suntuk dengan hati penuh risau, Randy mengambil selembar kertas serta pena di kantongnya. Untuk mengurangi lara jiwa, ia menulis bait-bait puisi.

Dari ribuan senja yang bertandang dalam hidupku.

Senja hari ini, terasa begitu menyedihkan.

Aku melihat senja tenggelam di matamu.

Mata yang penuh nestapa.

Hari ini, kau mengajarkan padaku.

Betapa kesendirian, begitu menyakitkan.

Meski senja telah banyak mengajariku,

Bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya sementara.

Penanda akhir cerita.

Dari senja, aku belajar menghargai rasa sunyi dan sepi.

Bahwa aku tidak akan selalu bersama,

Mereka yang kuharapkan.

Mengajariku agar siap dengan suratan takdir.

Bahwa apa yang aku jaga, aku inginkan, justru adalah takdir orang lain.

Mengajariku menghargai sesuatu yang mungkin hanya hadir untuk sekejap.

Mengajariku makna kata "ikhlas".

Bahwa langit tak selamanya biru.

Semua ada masanya.

Seperti inginku, untuk kembali.

Setelah keberanian itu terasa lengkap.

Semoga Allah meridhoi.

Muhammad Randy Elhaq, 14 Juni 2019
(Foto: instagram.com/risna1214)


Menangis Bersama Hujan ( Part 32. Perang Dunia Ketiga )

Menangis Bersama Hujan
Part 32. Perang Dunia Ketiga

"Bilo Uda ka pulang? Abak, Amak, adiak taragak ka Uda. Kumpul basamo Uda."

Randy menghela napas dalam-dalam membaca pesan sang adik. Wajahnya terlihat gelisah. Apalagi ini sudah sebulan lamanya, ia janji untuk segera pulang setelah wisuda. Seminggu yang lalu, pemuda itu sudah dinyatakan lulus ujian. Namun, hati yang seharusnya bahagia, malah semakin resah.

Meninggalkan Lombok setelah banyak kenangan tercipta, adalah hal yang paling berat baginya. Akan tetapi, ia kembali lagi berpikir, bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan di pulau Seribu Masjid, jika keluarga terus memintanya untuk pulang.

Pemuda Minang itu duduk memandang senja di tepi Pantai Kerandangan. Hatinya menggigil, melebur bersama mentari yang terbenam di ufuk barat.

Setelah membaca basmalah, Randy mengetik jawaban sms untuk Risfa, adiknya.

"Iyo. Uda taragak bana samo Abak, Amak, Adiak. Insya Allah, nanti Uda kabari lagi yo."

Randy mengirim sms itu tanpa sempat memeriksa ulang tujuannya. Ia tidak sadar, sms yang dibalas bukan dari adiknya, tapi sms dari Anindhiya.

Saat membaca laporan terkirim, pemuda itu kaget bukan kepalang. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merasakan detak jantung yang tiba-tiba saja bergerak cepat.

Beberapa saat kemudian, sms salah kirimnya mendapat respon.

"?????????"

Randy tersenyum simpul membaca sms Dhiya.

"Kenapa?"balasnya.

"Nggak jelas. Mending cepetan wisuda terus balik ke Padang deh. Itu gadihnyo menunggua. Acie cie ..."

"Masalah buat situ? Ngapain ane ke Padang?"

"Pulang kampuang sihnyo. Menuh-menuhin Lombok ajo org Padang iko. Hoho."

"Ntar ane plang, kalo udah nemuin tulang rusuk di siko. Ckck."

"Cari di Padang ajo. Kan cantik-cantik orang Minang. Siapa tau tulang rusukmu, ada di antara mereka."

"Bosen di Padang. Makanya nyari di sini."

"Ya udah, sama Rara aja. Mau dijodohin sama Rara? Rara itu cantik. Pinter. Chef. Sholeha kuadrat. Hafal qur'an 15 juz."

"Maen jodoh2in orng. Emangnya Siti Nurbaya, maen dijodohin. Kalo berani, sini sendirian!"

"Aisssh! Ngapain saya takut?! Mau bunuh-bunuhan? Ayo, saya terima tantangan!"

"Susah ya ngomong sama orang susah."

"Ya begitulah kalau orang nggak jelas. RSSSD!"

"RSSSD apaan?"tanya Randy penasaran.

"Entahlah."

"Oh, Ratu Super Super Serem, Dhiya."

"Aishh. Bukan saya! Itu maksudnya, Randy Selalu Susah Sejak Dulu. Stop sms lagi. Kalau dibalas, saya lempari granat tempatmu."

"Ada Zionis di Lombok, ternyata."

"Berhentiiiiiii, kubilang!"

"Ya udah, selamat ya kucingnya sudah melahirkan. Yang punya kapan nikah dan punya anak? Cepetan nikah gih. Biar gak galau. Biar gak terus2an baper. Biar gak makan wafer terus. Biar bisa gemukan dikit. Fii amanillah. Assalamualaikum warahmatullah."

Randy tersenyum simpul. Seraya menatap ombak untuk menenangkan hatinya yang mulai gaduh.

"Lempari saja aku dengan kata-kata kasarmu, Dhi. Aku tidak akan marah ataupun dendam. Asal hatimu tersenyum. Setidaknya, aku bisa membuatmu tersenyum. Sebelum takdir menetapkan yang lain untuk hidupku dan hidupmu. Tapi aku juga takut. Hati yang lemah ini, tidak sanggup melawan perasaanku meskipun itu fitrah manusia. Aku tidak ingin Allah jauh darimu karena aku. Aku juga tidak ingin Allah jauh dariku karenamu. Aku ingin memberi perasaan ini dengan cara yang benar. Dengan jalan yang benar. Maafkan aku."

Randy mengangkat kamera yang dipakai mengambil beberapa gambar wajah Dhiya. Ia menghapus beberapa foto milik gadis yang selama empat tahun bertengger dalam pikirannya. Meski hanya sekedar nama.

Pemuda itu kemudian mengarahkan moncong kamera ke arah tempat, di mana mentari terbenam. Menenggelamkan rindu yang perlahan mulai menghitam pekat.

***

Pulang dari tempat pengumpulan dan untuk Rohingya dan Palestina, Dhiya pulang naik kendaraan umum. Gadis itu celingukan ketika seorang penumpang, yang duduk di sampingnya memutar MP3 lagu-lagu milik BCL.

"Sunny, Sunny ..."

Entah kenapa, indera pendengar Dhiya menangkap lirik itu berubah menjadi berbeda.

"Randy, Randy ..."

"Astaghfirullahal adhim,"ucapnya seraya menepuk-nepuk kepala, menutup telinga dari dalam jilbab.

"Apa kau melihat dan mendengar, tangis kehilangan dariku. Baru saja kuingin kau tahu, perasaanku, padamu."

"Apaan sih ini lagu? Aissh! Bikin puyeng,"dengusnya kesal.

Sampai rumah, Dhiya terus saja ngedumel. Mulutnya monyong, komat-kamit tidak karuan.

"Itu kok bisa, ada yang masih suka lagu begituan. Galau begitu. Dah lama lagi. Maher Zain kek, Murottal kek, apa gitu. Bikin mood gue ilang aja,"

Anan mendadak muncul dari kamar. Ia menarik lengan Dhiya ke ruang tamu.

"Ribut melulu kayak emak-emak di pasar nawar barang. Ada tamu tuh. Buatin makan malam,"terang Anan.

Wajah Dhiya pucat pasi seketika.

"Si, siapa, Kak?"

"Randy,"

"Serius?"

"Tiga rius!"

"Aishhh, ngapain itu makhluk kesini lagi?"

"Mau ambil ranselnya. Sudah sana, balas jasa atas pinjaman ransel, kamu harus masak yang enak."

"Dengan syarat, Kak Anan bawa dia pergi ke masjid. Nanti Dhiya siapin. Kalau udah siap, baru Dhiya hubungi. Awas kalau pulang sebelum selesai dimasakin!"

"Tapi, Dhi, Randy mau nginep."

Dhiya terperangah. Mendadak tubuhnya seperti tersiram air es batu.

Anan sepertinya sengaja memancing di air keruh. Memprovokasi Dhiya untuk melihat reaksi sang adik. Menikmati emosi yang membuat hati adiknya terguncang hebat.

"Sudah cepet sana masak!"

"Iya, iya, cerewet!"

Dhiya mengendap-endap masuk kamar. Kamar Anan yang berada di sebelah kamarnya, sekonyong-konyong berubah angker.

Setelah mengganti pakaian dengan gamis biasa, Dhiya segera ke dapur setelah melakukan pengintaian.

"Kata ibu, kita harus baik sama musafir. Mari bekerja ikhlas untuk berbagi dengan musafir. Semangat Dhiya! Telur dadar. Bayam. Tumis kangkung. Sambalado alias beberok. Ikan tongkol. Tuh kan, jadi inget perbuatannya, yang menggosongkan tongkolku."

***

Malam ini benar-benar menjadi malam yang mencekam bagi Dhiya seorang. Ia tidak bisa tidur sama sekali. Sekuat tenaga memaksa mata terpejam, tetap saja suara degup jantungnya membuat ia terjaga. Seperti ada sebongkah meteor jatuh menindih tubuhnya yang kurus.

"Apa mereka ngomongin aku ya sampai nggak bisa tidur seperti ini?"

Gadis itu mendapat akal. Ia menempelkan telinganya di tembok. Diikuti kedua telapak tangan. Persis layaknya spiderman yang sedang memanjat gedung bertingkat.

Kecewa. Dhiya tidak bisa mendengar apa-apa selain degup jantungnya sendiri. Ia masih berpikir, bisa mendengar percakapan Randy dan Anan dengan naik ke atas plafon. Tapi gadis berambut panjang itu mengurung niatnya.

Suara Miming mengejutkan Dhiya. Ia membawa Miming bersama anaknya masuk ke kamar. Karena jika Miming bersuara lirih seperti itu, ia ingin berada di dekat majikannya.

Tidak bisa memejamkan mata, Dhiya memilih menulis puisi di dalam agenda miliknya.

Aku masih bersembunyi
Kala angin mengarak awan
Bergelayut, bermanja di birunya langit
Dan senja memesona jiwaku,
Jauh di puncak hati.
aaahh,
Rinjani,
Aku tak bisa melakukan apapun untukmu,
Lalu untuk apa aku berdiri di tebing Sembalun?
Menatapmu penuh kehampaan,
Biarlah,
aku akan mencintaimu dari kejauhan,
mengirimkan hujan doa tuk senyummu,
Rinjani,
meski tak bisa kurengkuh puncakmu,
Tak apa,
Aku akan membawa senyummu dalam hatiku,
dalam jiwaku,
dalam ingatanku,
yang entah sampai kapan bisa bertahan.
#SepucukPuisiUntukRinjani
(Foto: instagram.com/kawanimut)

Informasi Jadwal Lengkap Penerimaan CPNS dan PPPK

                                           (Sumber : Dok. Lembaga Administrasi Negara/LAN)     Penerimaan CPNS dan PPPK Tahun 2021 segera di...