Part 32. Perang Dunia Ketiga
"Bilo Uda ka pulang? Abak, Amak, adiak taragak ka Uda. Kumpul basamo Uda."
Randy menghela napas dalam-dalam membaca pesan sang adik. Wajahnya terlihat gelisah. Apalagi ini sudah sebulan lamanya, ia janji untuk segera pulang setelah wisuda. Seminggu yang lalu, pemuda itu sudah dinyatakan lulus ujian. Namun, hati yang seharusnya bahagia, malah semakin resah.
Meninggalkan Lombok setelah banyak kenangan tercipta, adalah hal yang paling berat baginya. Akan tetapi, ia kembali lagi berpikir, bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan di pulau Seribu Masjid, jika keluarga terus memintanya untuk pulang.
Pemuda Minang itu duduk memandang senja di tepi Pantai Kerandangan. Hatinya menggigil, melebur bersama mentari yang terbenam di ufuk barat.
Setelah membaca basmalah, Randy mengetik jawaban sms untuk Risfa, adiknya.
"Iyo. Uda taragak bana samo Abak, Amak, Adiak. Insya Allah, nanti Uda kabari lagi yo."
Randy mengirim sms itu tanpa sempat memeriksa ulang tujuannya. Ia tidak sadar, sms yang dibalas bukan dari adiknya, tapi sms dari Anindhiya.
Saat membaca laporan terkirim, pemuda itu kaget bukan kepalang. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merasakan detak jantung yang tiba-tiba saja bergerak cepat.
Beberapa saat kemudian, sms salah kirimnya mendapat respon.
"?????????"
Randy tersenyum simpul membaca sms Dhiya.
"Kenapa?"balasnya.
"Nggak jelas. Mending cepetan wisuda terus balik ke Padang deh. Itu gadihnyo menunggua. Acie cie ..."
"Masalah buat situ? Ngapain ane ke Padang?"
"Pulang kampuang sihnyo. Menuh-menuhin Lombok ajo org Padang iko. Hoho."
"Ntar ane plang, kalo udah nemuin tulang rusuk di siko. Ckck."
"Cari di Padang ajo. Kan cantik-cantik orang Minang. Siapa tau tulang rusukmu, ada di antara mereka."
"Bosen di Padang. Makanya nyari di sini."
"Ya udah, sama Rara aja. Mau dijodohin sama Rara? Rara itu cantik. Pinter. Chef. Sholeha kuadrat. Hafal qur'an 15 juz."
"Maen jodoh2in orng. Emangnya Siti Nurbaya, maen dijodohin. Kalo berani, sini sendirian!"
"Aisssh! Ngapain saya takut?! Mau bunuh-bunuhan? Ayo, saya terima tantangan!"
"Susah ya ngomong sama orang susah."
"Ya begitulah kalau orang nggak jelas. RSSSD!"
"RSSSD apaan?"tanya Randy penasaran.
"Entahlah."
"Oh, Ratu Super Super Serem, Dhiya."
"Aishh. Bukan saya! Itu maksudnya, Randy Selalu Susah Sejak Dulu. Stop sms lagi. Kalau dibalas, saya lempari granat tempatmu."
"Ada Zionis di Lombok, ternyata."
"Berhentiiiiiii, kubilang!"
"Ya udah, selamat ya kucingnya sudah melahirkan. Yang punya kapan nikah dan punya anak? Cepetan nikah gih. Biar gak galau. Biar gak terus2an baper. Biar gak makan wafer terus. Biar bisa gemukan dikit. Fii amanillah. Assalamualaikum warahmatullah."
Randy tersenyum simpul. Seraya menatap ombak untuk menenangkan hatinya yang mulai gaduh.
"Lempari saja aku dengan kata-kata kasarmu, Dhi. Aku tidak akan marah ataupun dendam. Asal hatimu tersenyum. Setidaknya, aku bisa membuatmu tersenyum. Sebelum takdir menetapkan yang lain untuk hidupku dan hidupmu. Tapi aku juga takut. Hati yang lemah ini, tidak sanggup melawan perasaanku meskipun itu fitrah manusia. Aku tidak ingin Allah jauh darimu karena aku. Aku juga tidak ingin Allah jauh dariku karenamu. Aku ingin memberi perasaan ini dengan cara yang benar. Dengan jalan yang benar. Maafkan aku."
Randy mengangkat kamera yang dipakai mengambil beberapa gambar wajah Dhiya. Ia menghapus beberapa foto milik gadis yang selama empat tahun bertengger dalam pikirannya. Meski hanya sekedar nama.
Pemuda itu kemudian mengarahkan moncong kamera ke arah tempat, di mana mentari terbenam. Menenggelamkan rindu yang perlahan mulai menghitam pekat.
***
Pulang dari tempat pengumpulan dan untuk Rohingya dan Palestina, Dhiya pulang naik kendaraan umum. Gadis itu celingukan ketika seorang penumpang, yang duduk di sampingnya memutar MP3 lagu-lagu milik BCL.
"Sunny, Sunny ..."
Entah kenapa, indera pendengar Dhiya menangkap lirik itu berubah menjadi berbeda.
"Randy, Randy ..."
"Astaghfirullahal adhim,"ucapnya seraya menepuk-nepuk kepala, menutup telinga dari dalam jilbab.
"Apa kau melihat dan mendengar, tangis kehilangan dariku. Baru saja kuingin kau tahu, perasaanku, padamu."
"Apaan sih ini lagu? Aissh! Bikin puyeng,"dengusnya kesal.
Sampai rumah, Dhiya terus saja ngedumel. Mulutnya monyong, komat-kamit tidak karuan.
"Itu kok bisa, ada yang masih suka lagu begituan. Galau begitu. Dah lama lagi. Maher Zain kek, Murottal kek, apa gitu. Bikin mood gue ilang aja,"
Anan mendadak muncul dari kamar. Ia menarik lengan Dhiya ke ruang tamu.
"Ribut melulu kayak emak-emak di pasar nawar barang. Ada tamu tuh. Buatin makan malam,"terang Anan.
Wajah Dhiya pucat pasi seketika.
"Si, siapa, Kak?"
"Randy,"
"Serius?"
"Tiga rius!"
"Aishhh, ngapain itu makhluk kesini lagi?"
"Mau ambil ranselnya. Sudah sana, balas jasa atas pinjaman ransel, kamu harus masak yang enak."
"Dengan syarat, Kak Anan bawa dia pergi ke masjid. Nanti Dhiya siapin. Kalau udah siap, baru Dhiya hubungi. Awas kalau pulang sebelum selesai dimasakin!"
"Tapi, Dhi, Randy mau nginep."
Dhiya terperangah. Mendadak tubuhnya seperti tersiram air es batu.
Anan sepertinya sengaja memancing di air keruh. Memprovokasi Dhiya untuk melihat reaksi sang adik. Menikmati emosi yang membuat hati adiknya terguncang hebat.
"Sudah cepet sana masak!"
"Iya, iya, cerewet!"
Dhiya mengendap-endap masuk kamar. Kamar Anan yang berada di sebelah kamarnya, sekonyong-konyong berubah angker.
Setelah mengganti pakaian dengan gamis biasa, Dhiya segera ke dapur setelah melakukan pengintaian.
"Kata ibu, kita harus baik sama musafir. Mari bekerja ikhlas untuk berbagi dengan musafir. Semangat Dhiya! Telur dadar. Bayam. Tumis kangkung. Sambalado alias beberok. Ikan tongkol. Tuh kan, jadi inget perbuatannya, yang menggosongkan tongkolku."
***
Malam ini benar-benar menjadi malam yang mencekam bagi Dhiya seorang. Ia tidak bisa tidur sama sekali. Sekuat tenaga memaksa mata terpejam, tetap saja suara degup jantungnya membuat ia terjaga. Seperti ada sebongkah meteor jatuh menindih tubuhnya yang kurus.
"Apa mereka ngomongin aku ya sampai nggak bisa tidur seperti ini?"
Gadis itu mendapat akal. Ia menempelkan telinganya di tembok. Diikuti kedua telapak tangan. Persis layaknya spiderman yang sedang memanjat gedung bertingkat.
Kecewa. Dhiya tidak bisa mendengar apa-apa selain degup jantungnya sendiri. Ia masih berpikir, bisa mendengar percakapan Randy dan Anan dengan naik ke atas plafon. Tapi gadis berambut panjang itu mengurung niatnya.
Suara Miming mengejutkan Dhiya. Ia membawa Miming bersama anaknya masuk ke kamar. Karena jika Miming bersuara lirih seperti itu, ia ingin berada di dekat majikannya.
Tidak bisa memejamkan mata, Dhiya memilih menulis puisi di dalam agenda miliknya.
Aku masih bersembunyi
Kala angin mengarak awan
Bergelayut, bermanja di birunya langit
Dan senja memesona jiwaku,
Jauh di puncak hati.
aaahh,
Rinjani,
Aku tak bisa melakukan apapun untukmu,
Lalu untuk apa aku berdiri di tebing Sembalun?
Menatapmu penuh kehampaan,
Biarlah,
aku akan mencintaimu dari kejauhan,
mengirimkan hujan doa tuk senyummu,
Rinjani,
meski tak bisa kurengkuh puncakmu,
Tak apa,
Aku akan membawa senyummu dalam hatiku,
dalam jiwaku,
dalam ingatanku,
yang entah sampai kapan bisa bertahan.
#SepucukPuisiUntukRinjani
(Foto: instagram.com/kawanimut)
"Bosan Bermain Togel ?????
ReplyDeleteIngin Bermain Poker Online Dengan Uang Asli ?
Tapi Ngak Tau Situs Poker Online Yang Bisa Di Percaya . ?
Poker Online - www.arenadomino.poker
Minimal Deposit / Withdraw : Rp.20.000,-
Bonus Refferal 20% Seumur Hidup .
Bonus Turn Over 0.5% Tanpa Batas .
Player VS Player ( 100% Tanpa Bot ) .
8 Games Dalam 1 User ID .
POKER - DOMINO - ADUQ - BANDARQ - CAPSA -
BANDAR POKER - SAKONG - BANDAR66
Rasakan Sensasi nya Menjadi Bandar , hanya di BANDARQ , BANDAR POKER , BANDAR66 .
Dengan Pelayanan Terbaik ( Customer Service ) .
Customer Service Online 24 Jam .
Daftar Langsung isi data2 : www.arenadomino.poker , www.arenadomino.info
2AE9E806