Saturday, March 23, 2019

Menangis Bersama Hujan (Part 40. Setetes Asa di Padang Gersang)



                    (Foto : dok. Pribadi)
Menangis Bersama Hujan
Part 40. Setetes Asa di Padang Gersang
By : Risna Adaminata

########

Meski ragu mencengkeram langkah kaki, Dhiya mantap menyeret kakinya ke ruang poli saraf, setelah nama yang tertera di KTP dipanggil.

"Semoga aja dokternya cewek dan gak jutek kayak Dokter Silvi."gumamnya harap-harap cemas.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Dhiya tiba-tiba tercekak saat melihat pemandangan di depannya. Baru dua langkah ia menginjak lantai ruangan periksa, kakinya seolah diikat rantai. Tak bisa bergerak.

"Innalillahi! Mati gue! Gimana nasib gue sekarang? Kenapa gue malah masih ingat wajah Dokter Silvi setelah dua tahun? Apa gue pura-pura lupa aja ya? Atau gue balik kanan aja? Ya Allah, tolong! Help me!"

"Kenapa Mbak Dhiya? Mau balik ya? Sini, silakan duduk. Alhamdulillah kita bisa bertemu lagi di sini setelah dua tahun. Gimana kabarnya sekarang? Udah jadi dioperasi?"

Dhiya menelan ludah yang terasa sepahit empedu ayam kampung. Setelah beberapa saat berpikir, gadis itu mengurung niatnya, untuk mundur dari peperangan dengan dokter jutek nan cantik jelita. Ia bertekad menghadapi Dokter Silvi dengan sisa keberanian sampai titik keringat penghabisan.

"Kalau udah dipanggil nama harus diperiksa. Jangan kabur lagi, karena bakal didenda satu em."

"Wuidih, satu em? Satu ember air kali ya? Buat nyiram tanaman depan RSU Kota. Pada kering tuh gara-gara kemarau tak berkesudahan."timpal Dhiya dalam hati.

Dhiya duduk di depan Dokter Silvi dengan sikap hati-hati dan penuh sopan santun. Senyum diatur sedemikian rupa hingga terlihat semanis madu. Melantunkan segala puja-puji, untuk mengendalikan emosi berkarat sang dokter saraf.

"Bu Dokter kelihatan makin muda saja ya? Makin cantik!"

Dokter Silvi tak menjawab. Ia sibuk menyiapkan lembar pemeriksaan. Dengan wajah dingin yang membuat Dhiya berpikir dua kali untuk mengunjungi rumah sakit. Wajah datar tak berekspresi membuat jantung pasiennya terasa menyusut. Termasuk Anindhiya Yunaza.

"Gejalanya masih seperti yang dulu? Sakit kepala, disminore, sama sakit dada?"

"Iya."

Dhiya sempat terkagum-kagum dengan ingatan Dokter Silvi tentang penyakitnya meskipun sudah dua tahun berlalu.

"Pantas saja jadi dokter. Karena dia memang pintar."bisiknya dalam hati.

"Masih sering angkat beban di kepala?"

Dhiya menggeleng pelan.

"Pernah terbentur?"

"Kadang-kadang. Tapi pelan."

"Ada keluhan lain?"

"Begini Dok, akhir-akhir ini saya sering lupa ingatan. Sering lupa tempat taruh kunci rumah. Lupa bawa dompet. Lupa barang yang mau dibeli."

"Lupa ingatan jangka pendek?"

"Mungkin itu. Tapi sering juga saat bertemu seseorang, saya seperti pernah bertemu, tapi lupa di mana tempatnya, kapan dan bagaimana cara kami bertemu. Seperti dejavu tapi lebih banyak lupanya."

Dokter Silvi terdiam. Alisnya bertaut seperti sedang berpikir keras.

"Ini sudah berapa lama?"

"Sejak dua atau tiga tahun yang lalu. Tapi lebih parahnya yang sekarang ini. Saya baca di internet itu adalah gejala Alzheimer. Dok, saya takut. Tolong bantu saya, Dok. Apa obatnya? Saya harus bagaimana? Saya juga takut ini adalah efek gejala tumor dan kanker otak."

Wajah Dokter Silvi perlahan berganti raut khawatir. Apalagi saat melihat Dhiya memelas dengan wajah mengiba.

"Dik Dhiya masih takut jarum suntik?"

Gadis itu mengangguk.

"Kalau begitu, sebaiknya Dik Dhiya diperiksa Dokter Disma saja ya."

"Dokter Dis ... Ma? Cowok?"

"Iya."

"Bu Dokter, kalau hari ini sedang sibuk, saya nggak apa-apa kesini besok. Asal jangan diperiksa dokter cowok."

"Bukan begitu. Lagian juga Dik Dhiya bukan diperiksa, hanya konsultasi saja kok."

"Tapi tetap saja nggak enak kalau cerita aib sendiri pada seorang lelaki."

Dokter Silvi menghela napas dalam-dalam.

"Begini, penyakit Dik Dhiya ini sepertinya salah diagnosa. Bisa jadi bukan seperti yang dulu saya perkirakan. Sekarang, banyak metode yang digunakan untuk mendeteksi tentang penyakit syaraf. Dan jika dugaan saya benar, Dik Dhiya bisa diobati tanpa operasi. Dokter Disma itu lulusan spesialis syaraf dari Universitas Tokyo. Satu-satunya dokter di NTB yang bisa mendeteksi kelainan syaraf pada banyak pasien yang divonis kanker otak. Dia baru beberapa bulan di sini. Tapi semua pasien dan rekan kerja memuji kehebatannya. Ini juga demi kebaikan Dik Dhiya. Masalah sembuh itu rahasia Allah. Tapi setidaknya, kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Saya akan temani Dik Dhiya di sini."

Dhiya termangu. Gadis itu merenung sejenak. Ia begitu bahagia mendengar bahwa penyakitnya bisa diobati tanpa operasi. Tapi merasa berat jika dokter yang menanganinya ternyata bukan mahrom.

Sekian lama berpikir, Dhiya segera mengambil keputusan.

"Cuma ditanya-tanya doang kan, Dok?"

"Iya. Syaratnya, Dik Dhiya harus jawab semua pertanyaan Dokter Disma dengan jujur. Meskipun itu rahasia. Kami berdua akan menjaga apa yang Dik Dhiya ceritakan."tukas Dokter Silvi.

"Baiklah."

Mendapat persetujuan gadis di depannya, Dokter Silvi segera menelpon seseorang.

"Minta tolong, panggilkan Dokter Disma ke ruangan saya. Terima kasih."

***

"Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,"

Dokter Silvi tersenyum melihat kedatangan seseorang di ruangannya.

"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, silakan duduk, Dok."jawab Dokter Silvi seraya bangkit dari tempat duduknya.

Kursi Bu Silvi kini diduduki pemuda berbaju putih, pakaian khas seorang dokter. Pakaian yang membuat mereka tampak berwibawa dan memesona setiap mata lawan jenis yang tersangkut sosok mereka.

Dokter Disma Danial kini tepat berada di depan mata Dhiya. Mereka beradu pandang. Saling menganggukan kepala sebagai salam perkenalan antara seorang dokter dan pasien. Sejenak kemudian keduanya kembali menundukkan pandangan masing-masing.

Sosoknya  nyaris sempurna. Hanya saja perawakannya tidak terlalu tinggi. Rambut lurusnya yang tebal dibelah samping, sedikit dinaikkan sehingga terlihat lebih dewasa. Matanya yang bulat dan jernih membuat Dhiya teringat sosok Randy. Apalagi saat pemuda itu tersenyum padanya.

"Wah, ini dokter apa anak SMA sih? Wajahnya bersih banget kayak teflon baru. Suaranya juga halus banget. Apa dia adiknya Randy? Hmmm, di saat begini yang terpikir malah Randy. Dasar tengil kamu, Dhiya!"pekik Dhiya membatin.

"Nah Dik, kenalkan ini Dokter Disma."Dokter Silvi mencoba menengahi kekakuan antara keduanya seraya menyodorkan hasil catatan medis Dhiya pada Disma.

"Oya, Dok. Kenalkan, ini Anindhiya. Pasien yang menghilang dua tahun lalu karena takut jarum suntik. Kalau tidak salah, Dokter pernah baca rekam medisnya di kantor sebelah (rumah sakit swasta)."

Dokter Disma mengangguk pelan tanda mengerti. Setelah beberapa detik membaca riwayat keluhan Dhiya, ia mengerutkan kening. Seperti menemukan sesuatu yang serius.

Dhiya tertunduk menahan malu, setelah sadar ternyata Dokter Disma sudah tahu tentang dirinya yang takut jarum suntik.

"Dik Dhiya nggak usah jaim. Sekarang, silakan semua keluhan disampaikan saja sama Dokter Disma. Tenang saja, Dokter Disma nggak akan tertarik dengan pasiennya kok. Karena dia sudah punya istri yang sangat cantik dan sholeha. Iya kan, Dok?"

Dokter Disma hanya mengulum senyum tipis. Setipis kulit ari.

"Apa-apaan sih Dokter Silvi ini? Biang resek sejagad raya. Gue juga gak doyan brondong. Seberapapun gantengnya dia. Tetap saja masih kecil. Lagian juga, apa hubungannya dengan dia punya istri atau nggak. Nggak ngaruh keles! Lebih ganteng juga Randy kemana-mana. Timur, selatan, barat, utara, tenggara."keluhnya dalam hati.

"Itu Mbaknya benar-benar takut jarum suntik atau pura-pura takut supaya dibilang imut?"ujar Dokter Disma santai seraya melirik si pasien.

Tentu saja gadis di depannya tampak jengkel diperolok seperti itu. Wajah yang tadinya malu-malu berubah keki. Kesal. Merengut manyun.

"Apa? Pura-pura? Pak Dokter, mana ada perasaan itu dibuat-buat. Kalau dibuat-buat itu namanya modus. Modal dusta. Saya takut jarum suntik itu sejak kecil. Mungkin sejak dalam kandungan saya sudah takut disuntik. Jangan dibilang mengada-ada. Dibilang pura-pura untuk jadi imut. Sebenarnya Pak Dokter ini mau periksa atau mengolok pasien?"

Dokter Disma yang sempat kaget mendengar rentetan kata-kata pembelaan diri dari Dhiya, malah tersenyum sembari menutup wajah dengan tangan kiri.

"Ini dokter, masih kecil aja udah begini. Gimana dewasanya ntar? Benar-benar ngajak ribut. Awas aja!"oceh Dhiya berbisik.

Dokter Silvi yang menjadi penonton setia, hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Dhiya. Ia menahan tawa, melihat gadis yang tadinya grogi kini berani angkat bendera perang badar dengan Dokter Disma. Padahal dokter syaraf lulusan Jepang itu sudah bertanya dengan nada sehalus sutera.

"Bukan begitu, Mbak. Pertanyaan saya memang bagian dari test psikologi untuk mendeteksi spesifik penyakit yang Mbaknya derita. Jadi bisa dijawab dengan ya atau tidak. Karena ada pertanyaan lanjutan."

"Memangnya ada pertanyaan kayak gitu dalam ilmu kedokteran?"tanya Dhiya berbasa-basi untuk membuang rasa malu yang terlanjur menggulungnya.

Si Dokter tampan mengangguk.

"Kenapa Mbak takut jarum suntik?"

"Itu karena dalam pikiran saya, kalau lihat orang disuntik itu bakal kena tulangnya. Kan bisa sakit dan cacat."

"Jadi Mbak juga takut lihat orang disuntik?"

"Iya."

"Kalau lihat orang terluka juga nggak berani?"

"Nggak berani."

"Kenapa?"

"Badan saya ikut sakit kalau melihat orang terluka. Ikut merasa ngilu. Lalu terbawa mimpi sampai nggak bisa tidur."

"Sering insomnia?"

Dhiya mengangguk.

"Lutut, pundak sama tengkuk sering sakit?"

"Kadang-kadang."

"Ada gangguan penglihatan?"

"Iya. Silinder dan minus. Kadang juga kalau kena cahaya, sering kelihatan gelap."

"Kenapa Mbak tidak menceritakan masalah ini sama keluarga? Dan kenapa Mbak mau periksa lagi setelah dua tahun? Bukankah itu bisa membahayakan hidup Mbak? Tolong ceritakan semuanya."

"Bukankah itu sangat pribadi? Apa hubungannya dengan penyakit saya?"

"Iya. Hubungannya pasti ada. Ini demi kesembuhan penyakit Mbak."

Dhiya terlihat ragu-ragu. Perlahan, ia mengangkat wajah. Memberanikan diri menatap Dokter Disma yang sejak tadi menunggu ceritanya.

"Sebenarnya, kedua orang tua saya sudah meninggal. Saya punya dua kakak lelaki. Yang sulung sudah menikah dan punya anak. Yang satunya masih jomblo. Dia bilang akan menikah setelah saya menikah. Saya tidak memberitahu mereka tentang kondisi saya karena takut mereka akan terbebani."

Dhiya mulai terbawa emosi. Matanya berkaca-kaca. Begitu juga Dokter Silvi. Sedangkan Dokter Disma terpaku dengan wajah simpati.

"Lalu, ingatan saya jadi berkurang. Konsentrasi juga buyar. Setiap perkataan orang tak bisa saya mengerti. Tiba-tiba saya takut, terkena alzheimer. Saya takut lupa sholat. Saya takut lupa pakai jilbab kalau keluar rumah. Selama dua tahun, saya siap dengan resiko meninggal tiba-tiba. Tapi saya tidak siap untuk lupa ingatan. Karena itu saya melawan ketakutan, untuk datang kesini."

"Selain dalam sholat, Mbak cerita sama siapa lagi tentang masalah ini?"

"Minow."

"Pacarnya Mbak?"Dokter Disma terlihat menyelidiki.

"Saya nggak menganut agama pacaran, Pak Dokter. Minow itu kucing saya."

Wajah si dokter tampak lega. Ada binar-binar aneh tersirat di matanya.

"Tapi seminggu yang lalu, sahabat kakak saya berniat mengkhitbah saya. Dia, orang yang saya sukai sejak lama. Kami tidak pernah kontak lagi selama dia pulang kampung di Padang. Saya ingin menerima, tapi masih terbelenggu keraguan karena penyakit ini. Kemudian saya sholat istikharah, dan hati saya mantap memilih untuk periksa dan memastikan kondisi kesehatan dulu. Baru mungkin saya akan tenang memberikan jawaban."

Ada yang berbeda dari raut wajah Dokter Disma. Mendengar pengakuan tiba-tiba dari pasiennya. Terkejut sekaligus tampak merana. Namun, itu tak berlangsung lama. Senyumnya kembali mengembang. Senyum yang membuat semua pegawai rumah sakit yang masih jomblo terpesona. Bahkan yang sudah menikah dan punya anakpun sering mencuri pandang ke arahnya. Tak heran jika Dokter Silvi menjulukinya senyum penakluk hati wanita. Sosok pemuda mirip Aliando. Aliando versi dewasa dengan rambut lurus.

"Ini sepertinya Mbaknya menderita Fibromyalgia Syndrom. Tapi, kita perlu memeriksa gejala lain juga. Selain itu harus cek darah. Minggu depan, silakan kembali kesini. Siapkan mental dan materi. Ini diagnosa sementara sampai kita melakukan pemeriksaan lanjutan."

"Tapi daya masuk kerja, Dok."

"Kalau begitu, sorenya bisa ke klinik Strawberry. Saya tulis alamatnya dulu."

"Fibromalgia itu apa Dok? Apa itu sangat berbahaya?"

"Fibromyalgia. Bukan malgia. Yang jelas penyakit itu bisa diobati tanpa operasi. Tapi pengobatannya bisa berbulan-bulan, biaya juga tinggi. Jadi harus cuti kerja. Tapi kita coba dulu setiap mbak libur, sore atau malam diterapi. Mbak bisa beri tahu calon suaminya langsung. Bisa nanti setelah periksa darah. Bisa juga sekarang. Kalau dia menerima Mbak, dengan kondisi begini. Artinya kan Mbak nanti ada yang menemani berobat."

"Alhamdulillah. Jadi benaran bukan Alzheimer?"

"Insya Allah bukan."

"Terima kasih banyak, Dok."

Bukan main senangnya hati Dhiya mendengar perkataan Dokter Disma. Ia kini kembali mampu membangun puing-puing harapan yang sempat runtuh beberapa hari yang lalu. Sosok Randy yang menunggunya di pelaminan, terbayang begitu saja. Seolah melambaikan tangan menyambut kedatangannya.

"Astaghfirullah. Aku pasti sudah gila sampai memikirkan hal itu!"

Dhiya kemudian pamit meninggalkan ruangan Dokter Silvi, setelah menerima selembar kertas berisi alamat klinik syaraf dari Dokter Disma.

Sepeninggal Dhiya, Dokter Disma dan Silvi berpandangan. Kedua dokter yang terpaut usia 10 tahun, berdiri di pintu melihat langkah riang pasien mereka.

Dokter Silvi heran melihat Disma yang terus tersenyum mengantar kepergian Dhiya.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu, Dik? Baru pertama kali bertemu spesies langka yang lucu seperti gadis itu ya?"

"Iya. Mbak. Bukan itu saja. Saya merasa ikut bahagia bisa menolong dia keluar dari beban pikiran yang begitu berat."

"Kalau memang jatuh hati, langsung aja ke rumahnya."

"Ah, Mbak Silvi ada-ada aja. Tadi kan dengar sendiri kalau dia udah dikhitbah orang yang dia sukai. Dan Mbak juga bilang, saya udah punya istri."

"Ya itu kan supaya dia nggak grogi ditanya dokter jomblo."

"Tapi terima kasih ya, Mbak. Dengan begitu, setidaknya beban pikirannya sudah berkurang dengan mengungkapkannya pada yang lain. Masalah seberat itu dia simpan sendiri. Benar-benar kuat."pungkas Disma seraya memasukkan kedua tangan ke dalam kantung jas.

Dokter Silvi melongo menatap Disma yang berlalu meninggalkannya di pintu. Ia memicingkan mata. Menebak apa yang ada dalam pikiran juniornya itu.

"Dari sekian banyak pasien cantik, rekan kerja cantik yang mengakui perasaan mereka sama dia, Disma hanya tersentuh dengan Dhiya? Gadis selengekan, kolokan dan emosian itu? Dunia memang mau kiamat. Dan saya baru bisa melihat, hal yang tak biasa di wajah Disma. Sayangnya, Dhiya udah terang-terangan bilang dia udah dikhitbah. Tapi, yang namanya jodoh, siapa yang tahu. Entahlah."lirih Dokter Silvi berspekulasi sendiri.

***

Di lantai dua, Dokter Disma berdiri terpekur. Menatap pemandangan dari dalam jendela kaca. Terlihat dari kejauhan, tepatnya di jalan raya. Sosok gadis yang baru saja ia hadapi sedang membantu seseorang menyeberang di jalan raya nan padat merayap.

Beberapa saat kemudian, gadis itu memunguti sampah berserakan di trotoar dan memasukkannya ke dalam tong sampah.

Disma menghela napas saat Dhiya naik angkutan umum. Ia kembali ke tempat duduknya. Seperti ingat sesuatu, pemuda pemilik alis tebal itu segera merogoh kantong ransel yang ia taruh di bawah meja.

Dokter berdagu lancip itu menggenggam erat gantungan kunci strawberry yang ia ambil dari ransel. Ia tersenyum memandang benda itu. Seperti sesuatu yang sangat berharga tersimpan di dalamnya.

"Maafkan aku, karena belum bisa mengembalikanmu pada pemilikmu. Mungkin waktunya yang tidak tepat," desahnya dengan tatapan nanar.

No comments:

Post a Comment

Informasi Jadwal Lengkap Penerimaan CPNS dan PPPK

                                           (Sumber : Dok. Lembaga Administrasi Negara/LAN)     Penerimaan CPNS dan PPPK Tahun 2021 segera di...