(Foto :instagram.com/act_elgharantaly)
Menangis Bersama Hujan
Part 42. Istikharah Dalam Dilema
Risna Adaminata
Part 42. Istikharah Dalam Dilema
Risna Adaminata
***
Randy memurojaah hafalannya sendiri dengan rekaman smartphone. Suaranya begitu sendu dan khusyuk. Bacaan hurufnya yang fasih dan tartil membuat lafadz-lafadz ayat Allah terdengar begitu jernih keluar dari lisan pemuda sholeh itu.
Randy memurojaah hafalannya sendiri dengan rekaman smartphone. Suaranya begitu sendu dan khusyuk. Bacaan hurufnya yang fasih dan tartil membuat lafadz-lafadz ayat Allah terdengar begitu jernih keluar dari lisan pemuda sholeh itu.
Tanpa terasa, air mata bening menetes di pipi Randy. Entah karena terlalu menghayati makna dari ayat yang dibaca atau karena memikirkan sesuatu yang mengganjal di hati. Namun, fenomena itu sering menjadi cerita berkesan teman-teman PMK yang pernah menemaninya murojaah hafalan.
"Shodaqallohul adzim ...!"
Tersadar saat ada yang terasa hangat di pipi, Randy perlahan menyeka dengan dua jarinya. Ia memandang langit dimana mentari mulai lengser turun ke ufuk barat.
"Sebentar lagi senja. Dan ini adalah senja yang ke-40 sejak aku melayangkan maksud hati ke Dhiya," gumam pemuda itu dengan mata gelisah.
"Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh!" Sapa seseorang tiba-tiba dari pintu gerbang.
Randy menjawab salam sambil memaksa tersenyum menyambut siapa yang datang.
"Silakan masuk Uda," sambut Randy pada Uda Ridwan, kakak semata wayangnya.
"Di sini saja, biar sejuk."
"Randy buatin minum dulu, Da."
"Nggak usah repot-repot, Ran. Barusan uda mampir di rumah teman kantor, sudah minum kopi. Uda kemari cuma mau tanya tentang gadis Lombok itu? Bagaimana jawabannya?"
"Belum, Uda. Mungkin masih minta pendapat keluarganya. Karena dia masih bingung mau ninggalin Lombok. Tapi Randy pikir itu bisa jadi pertimbangan Randy juga buat tinggal di Lombok."
"Ya jangan, Ran. Di sini juga anak-anak membutuhkan keahlianmu. Tapi kalau jawabannya tidak, ini uda bawa biodata lain buatmu. Kemarin Ustadz Hanafi terus bertanya tentang kapan kamu nikah. Sambil menyodorkan biodata ini. Kebetulan dia satu suku dengan kita, tapi ngajar di pondok pesantren dekat sini juga. Dia dari keluarga yang latar belakangnya sama dengan kita. Meskipun keluarganya lebih islami dibanding kita. Tapi ilmu agamanya lebih dalam ketimbang kamu. Sholeha, hafizah juga."
"Tapi Uda ..."
"Istikharah, Dik! Insya Allah kamu akan dapat yang terbaik. Uda tahu, kamu sangat mengharapkan gadis itu. Tapi apa kamu yakin, gadis itu juga memiliki perasaan yang sama denganmu? Uda takut, harapanmu sama gadis itu hanya bertepuk sebelah tangan,"ujar Uda Ridwan tanpa basa-basi.
Jelas saja kata-kata Uda Ridwan sangat menohok hati. Seperti mendapat durian runtuh yang jatuh tepat di jantungnya. Perih. Remuk seketika.
***
Saat malam semakin larut dalam buaian sunyi. Saat bunyi-bunyi makhluk lain bersembunyi di pelukan mimpi. Randy terkapar seorang diri di atas sajadah. Hatinya seperti bangunan roboh, bersimpuh dengan tangisan hati memohon ampunan, petunjuk jalan dan ketenangan hati pada Sang Ilahi.
Setelah puas mengutarakan perasaan hatinya, Randy membuka sisa-sisa chattingannya dengan Dhiya.
(Foto :. Dok. Pribadi)
"Saya dan beberapa teman mau ke Rinjani nanti setelah menghadiri walimahan Rara. Apa ukhty Dhiya bisa menemani mereka nanti mendaki ke Rinjani?"
"Afwan Pak Randy, saya belum bisa kemana-mana untuk saat ini. Mungkin Ukhty Dea bisa membantu Pak Randy."
"Oh, begitu. Jazakillah kalau begitu,"
Randy memegang keningnya dengan mata berkaca. Ada rasa sesak di dada saat ia membaca jawaban Dhiya.
"Apa jawaban ini artinya Dhiya menolakku? Atau aku saja yang tidak peka dengan jawaban yang tersirat di sini? Apa Dhiya sudah punya orang lain di hatinya?"
Setelah menggumam, beberapa saat kemudian Randy menggeleng.
"Ya Allah, Ya Rabbana, jauhkanlah aku dari segala prasangka. Janganlah Engkau biarkan diriku, jatuh terlalu dalam dengan perasaan yang tak semestinya ini. Salahkah aku seperti ini? Menyimpan perasaan bertahun-tahun dengan orang yang aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya padaku. Salahkah ini Ya Rabb?"
Pemuda berpostur tinggi tegap itu memejamkan mata. Bayangan wajah Dhiya bergentayangan menghantui pikirannya. Menari-nari di pelupuk mata yang tertutup. Ia tak tahu jikalau saat itu sedang bersimbah rindu.
Meski hatinya, pikirannya masih dipenuhi wajah gadis Lombok bernama Dhiya, namun Randy mencoba menguatkan hati membuka map biodata yang dibawa Uda Ridwan.
"Siti Maharani ..."gumamnya mengeja nama yang tertera di lembaran itu tanpa suara akan tetapi suara jantungnya jauh lebih riuh dan bergemuruh dalam kegalauan.
No comments:
Post a Comment