(Foto:dok. Pribadi)
Menangis Bersama Hujan
Part 39. Setangkai Bunga Takdir
By Risna Adaminata
***
Hamas memandang takjub hamparan tulip bak permadani alami di depan mata saat dalam perjalanan pulang menuju asrama mahasiswa Indonesia di Istanbul, Turki. Jadwal kuliahnya yang padat ditambah jadwal kerja sampingan sebagai mentor tahfiz Alqur'an di beberapa sekolah dasar, membuatnya tak begitu leluasa menikmati pemandangan alam gratis yang terhampar hampir di setiap penjuru kota.
"Masya Allah Tabarakalloh, betapa indahnya Allah menciptakan warna. Ini masih kuncup saja sudah memukau seperti ini. Apalagi saat mekar nanti. Apalagi saat festival tulip di Emirgan. Suasananya akan semakin membuat hati mengagumi Sang Pencipta."
Tak henti-hentinya Hamas berdecak kagum dengan untaian zikir dari lisan dan hati. Matanya berbinar dengan senyum menawan.
Tiba-tiba ia menyingsingkan lengan baju melihat bulatan yang melingkar di pergelangan tangan. Pemuda itu tampak melempar pandangan sekali lagi pada anggunnya tangkai jenjang bunga tulip yang berjarak 5 meter darinya. Padahal ingin sekali ia mengabadikan hal tersebut dalam ponsel, namun waktu tak mengizinkan.
Dengan langkah berat Hamas meninggalkan tempat itu menuju asrama.
***
"Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,"
"Wa'alaikumsalam, Mas."
"Dinda mana, Dik?"
"Tidur siang,"
"Ini sudah sore, kok masih dibiarin tidur?"
"Ya kan Dindanya masih lelap tidurnya, masak mau dipaksa bangun? Nanti kalau rewel bagaimana? Yang rempong, Diva juga kan, Mas?"timpalnya sedikit kesal.
"Maksudku, jadwal tidurnya itu diatur, jangan dibiarkan kelewatan. Agar tidak terbiasa sampai besarnya nanti. Kalau dibiarkan semaunya kan bisa jadi kebiasaan buruk nanti."
"Dindanya kan masih bayi, Mas. Baru satu tahun juga. Masak sudah diatur-atur dari sekarang. Kasihan kan. Nanti juga pas besar dia berubah kok."
Hamas terdiam. Padahal ia baru saja ingin mengajak Diva dan Dinda untuk pergi liburan ke Emirgan di sela-sela jadwal kerjanya yang padat. Diva biasanya tidak seperti ini reaksinya ketika ditegur tentang didikannya pada Dinda, putri pertama mereka.
Hamas juga pernah menyarankan Diva untuk menyampaikan sejak dini tentang Alqur'an pada Dinda. Tapi Diva tetap membantah dengan alasan, anak kecil tidak boleh dipaksa otaknya untuk belajar sesuatu yang sulit seperti menghafal Alqur'an. Kemudian ia memilih untuk tetap membaca dan menghafal Alqur'an di saat Dinda sudah terlelap ketika pulang kerja. Ia juga merasa malas untuk terus berdebat dengan Diva yang selalu merasa benar sendiri.
Saat di kamar Dinda, Hamas yang sedang asyik menatap wajah kecil serta imut di depannya. Ia mencium pipi bakpau Dinda dan berharap gadis mungil itu bangun menyambutnya datang. Namun ia memutuskan untuk ganti baju terlebih dahulu agar bisa bermain dengan sang putri.
"Mas, tau gak, aku dengar kalau Rara akan menikah bulan depan," ungkap Diva tampak bersemangat.
Hamas yang sedang membereskan sepatu dan celana setelah ganti baju sempat tertegun sesaat mendengar cerita Diva barusan.
"Aku pikir dia belum move on setelah kejadian dua tahun silam. Ternyata dia sudah menemukan tambatan hati. Dan palingan juga Mbak Shibaa yang carikan,"
"Lalu, tujuanmu membahas Rara di depanku untuk apa? Dia menikah bukan urusan kita kan. Selain mendoakannya?"
"Iya itu maksudku, Mas. Aku ingin Mas mendoakannya dan jangan berharap lagi untuk menikah dengannya. Apalagi poligami. Aku rasa Mas juga masih memiliki perasaan untuk Rara," jawab Diva ketus.
Hamas mendadak merasa pening. Ia memegang dahinya yang tampak menahan emosi. Karena ia merasa sangat lelah.
"Kapan aku pernah bilang kalau aku mau poligami, Div? Aku tidak punya ilmu setinggi itu untuk berpoligami. Bahkan di setiap kita saling bentak, aku hanya berpikir mengalah untuk tidak berpolemik denganmu. Kenapa kau selalu bawa-bawa nama Rara dan Dhiya di kehidupan rumah tangga kita? Sudah cukup, Div! Aku mau istirahat," pungkasnya dengan suara bergetar.
Hamas yang terkenal sopan, ramah dan lembut di kalangan rekan PMK, baru kali ini menunjukkan sisi emosionalnya yang benar-benar tak bisa ia kontrol. Sebagai istri yang hidup 2 tahun lebih bersama Hamas, Diva begitu terkejut sampai melongo seperti orang linglung menyaksikan sang suami marah-marah.
Puas melampiaskan isi hati, Hamas segera masuk ke kamar mandi tanpa menoleh ke arah Diva.
Bukannya merasa bersalah, Diva semakin terlihat kesal dan mendendam.
"Semua ini gara-gara mereka berdua! Mas Hamas pasti marah karena masih memiliki perasaan sama Rara. Mereka memang tidak ada di sini, tapi masih saja menjadi duri dalam kehidupan rumah tanggaku yang bahagia. Awas aja kalian! Tunggu saja pembalasanku!"geram Diva seraya mengepalkan tangannya.
***
Dhiya uring-uringan menghadapi setumpuk pekerjaan kantor yang belum selesai dijamah sejak kemarin.
"Perasaan, gue kerjanya begini-begini doang. Cek kertas, masukkan laptop. Cek kertas, masukkan laptop. Nggak kreatif banget. Sekali-kali cek kertas, jungkir balik gitu kan. Akan jadi fenomena dahsyat seperti si Syahrini," gumam Dhiya seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Jenih dengan pekerjaannya, Dhiya memilih untuk mengambil air wudhu dan menunaikan sholat terlebih dahulu untuk menenangkan hatinya dari segala tekanan pekerjaan yang minta diurus segera.
Namun, saat akan menuju kamar mandi, suara deringan ponsel Anan memecah pikirannya. Ia langsung menuju kamar Anan yang tak dikunci dan menyambar benda elektronik itu setelah melihat siapa yang memanggil sang kakak di layar.
"Assalamualaikum, Kak Adam! Apa kabar?"
"Waalaikumsalam. Lho, Anan kemana Dik?"
"Ke masjid sholat berjamaah. Ada apa?"
"Iya, Anan tadi pagi nelpon kakak. Katanya ada yang mau dibicarakan. Cuma kakak lagi seminar. Jadinya nggak sempat angkat."
"Ya udah, nanti Dhiya sampaikan biar Kak Anan nelpon lagi."
"Dhiya sehat?"
"Alhamdulillah sehat, Kak."
"Oke kalau begitu, kakak sholat dulu ya,"
"Sip, Kak. Titip doa buat Palestina ya, Kak. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh."
"Insya Allah. Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh."
Saat Dhiya ingin meletakkan ponsel Anan, layar yang kembali ke posisi semula tanpa sengaja tertangkap retina Dhiya. Jelas saja gadis itu kegirangan melihat obrolan Anan dan nomornya Randy melalui pesan singkat.
"Kak Anan kan baru 5 menit yang lalu perginya. Baliknya ntar sekitar 15 menit lagi. Jadi untuk balas dendam a
"Antum serius, Akhi? Kalung berlian itu untuk adik ana yang pecicilan itu? Sebagai tanda pinangan?"
"He he. Antum sudah tanyain ke Kak Adam kan? Atau mungkin Ukhty Dhiya belum siap?"
"Ini lagi berusaha menghubungi Kak Adam, tapi sepertinya masih sibuk. Kalau tentang Dhiya, sepertinya tidak masalah. Yang penting lewat Kak Adam dulu baru ke Dhiya. Antum banyak-banyak berdoa saja selain tahajjud dan istikharah."
"Baiklah Kak. Jazakalloh khairan katsir. Apapun jawaban Dhiya nanti, insya Allah ana terima dengan ikhlas."
"Mantap. Insya Allah nanti ana berikan jawaban dari Kak Adam maupun Dhiya. Ana mau pergi sholat dulu di masjid."
"Oke, fii amaanillah ya. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh."
Gemetar tangan Dhiya yang masih memegang ponsel Anan. Jika ia tak cepat sadar, ponsel itu bisa jadi jatuh berserakan di lantai. Ia hampir berteriak, namun telapak tangan kiri segera membekap mulutnya sendiri agar tak kelolosan.
Mata gadis itu berkaca-kaca. Entah bahagia, entah kaget, entah terharu bahkan menganggapnya taknmasuk akal.
"Ini pasti mimpi! Aku yakin ini mimpi!" pekiknya masih tak percaya seraya menampar pipi sendiri.
"Randy, meminangku? Impossible!" gumamnya lagi seperti kerasukan.
Ia segera meletakkan ponsel Anan sembarangan lalu berlari tunggang langgang menuju kamar mandi.
No comments:
Post a Comment