Menangis Bersama Hujan
Part 41. Dilema Tak Berujung
Risna Adaminata
***
Dhiya masih diam membisu di depan kedua kakak lelakinya. Wajahnya tertunduk memikirkan apa yang harus ia ungkapkan sebagai alasan mengenai niat pinangan Randy. Ia masih berat hati mengatakan jika kondisinya sedang dalam perawatan dokter.
"Bagaimana hasil istikharahmu, Dik? Karena kita harus memberi jawaban untuk Randy supaya bisa menyiapkan segalanya sejak dini. Apakah kamu menerimanya?"
"Aku menerimanya, Kak. Tapi tolong, minta waktu 3 bulan untuk menyelesaikan urusanku di sini. Baru aku benar-benar siap untuk meninggalkan Lombok."
"Jadi maksudmu, kita akan bilang kalau kamu tidak menolak Randy. Tapi kita juga minta waktu 3 bulan untuk dia kesini bersama keluarganya? Begitu?"
"I, iya ... Kurang lebih seperti itu. Tapi ..."
"Tapi kenapa?"
"Apa Dhiya tidak egois jadinya jika memintanya Randy untuk menunggu 3 bulan lagi? Sedangkan umurku, belum tentu sampaikan di sana."
"Hei! Kenapa kamu bicara begitu, Dik?"
"Ya kan kita tidak tahu rahasia Allah, jodoh, maut, dan rizki itu semuanya Allah yang mengatur. Nanti kalau dia menunggu sampai 3 bulan, lalu aku kenapa-kenapa gimana? Misalnya, malah nikah sama orang lain atau segala macam, gimana? Dhiya tidak ingin mengecewakan karena meminta mereka menunggu, Kak."
Anan menggeleng. Ia merasa pusing dengan keinginan adik semata wayangnya.
"Kamu sudah istikharah kan?"
Dhiya mengangguk pelan.
"Terus hasil istikharah itu, kamu menerima Randy tapi tidak dalam waktu dekat. Tapi kamu tidak mau meminta Randy menunggu, alias gak bilang sama dia kalau kamu menerima dia agar dia tidak berharap? Alias kamu ingin menggantung di tanpa arah yang jelas mau dibawa kemana pinangannya? Atau kakak jawab aja kalau kamu minta waktu istikharah 3 bulan saja untuk mempertimbangkan pinangannya? Begitu?"oceh Anan dengan nada mulai meninggi.
"Dik, kamu mengurus apa sih sampai 3 bulan baru bisa siap? Coba dipikirkan lagi. Kalau memang tidak terlalu penting, jangan terlalu dibesar-besarkan. Kalau kamu memikirkan Anan, kakak rasa Anan baik-baik saja kok ditinggal sendirian."sambung Adam.
"Ngapain aku mikirin Kak Anan? Ini karena aku memikirkan diriku sendiri, Kak. Memikirkan Randy juga. Karena mau nggak mau, jika aku menikah dengan Randy dalam kondisi penyakit nggak jelas macam begini, aku takut bukan Randy saja yang akan menjadi korban, keluarganya dan kakak berdua juga bisa ikut jadi korban repot dengan kebutuhan perawatanku. Aku ingin menyelesaikan sendiri masalahku tanpa merepotkan orang lain, itu saja Kak. Tolong mengertilah," jelasnya dalam hati karena lidahnya begitu kelu mengungkapkan semua itu di depan sang kakak.
"Kenapa kamu harus memilih jalan begitu rumit dan memusingkan seperti ini, Dhiya?"gerutu Anan.
***
Saat Adam sudah pulang, Anan kembali mencoba menanyakan dan mengubah keputusan Dhiya.
"Dik, apalagi yang kamu tunggu? Kamu cukup bilang sama Randy, kamu menerima pinangannya. Selesai masalah. Dari pada kamu gantungin nggak jelas begitu."
"Memangnya cucian pakai digantungin segala."
"Lah iya makanya. Kamu sih nggak tahu bagaimana perjuangan kakak membela kamu di teman-teman kampus yang pernah ingin meminangmu juga. Tapi kakak tolak dengan mengatakan kamu belum siap nikah. Karena kakak tahu Randy punya perasaan padamu. Dan belakangan kakak juga tahu, kamu juga ada hati sama dia. Sekarang Allah kasih kesempatan sama kamu, tapi kamu sia-siakan? Itu kamu ... Aah, kakak nggak tahu lagi dah! Terserah sudah. Nanti kalau Randy berubah pikiran, bagaimana?" Tanyanya ketus dengan wajah agak kesal bercampur kecewa.
Dhiya terdiam. Gadis itu menarik napas dalam-dalam mendengar ungkapan kekesalan Kak Anan. Tanpa bisa dipungkiri, seperti terasa ada kepingan hatinya yang retak ketika ia memikirkan Randy malah memilih gadis lain nantinya.
"Tapi aku lebih tidak mungkin lagi menikah dengan Randy dengan kondisi seperti ini. Lalu nanti setelah menikah nanti, orang yang paling menderita dengan keadaanku ini adalah dia. Ya Rabbana beri aku jalan. Berikan yang terbaik untuk kami. Aku hanya tidak mau serakah dan mendzolimi Randy dengan menyuruhnya menunggu. Sedangkan takdir hidupku entah sampai kapan." Dhiya membatin sembari mengusap setetes bening embun di pipinya.
***
Dhiya mengaduk-aduk nasi dengan daging ikan tongkol yang baru saja digoreng untuk sarapan Minow. Ia juga segera menyiapkan sarapan untuk Kak Anan yang sedang mandi. Ia sendiri tinggal pakai baju sepatu lalu berangkat ke kantor.
"Kak, Dhiya berangkat duluan ya. Soalnya mau upacara."
"Ya sudah. Hati-hati di jalan ya," sahut Kak Anan dari kamarnya.
"Enggih. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh."
Minow mengikuti langkah Dhiya sampai 500 meter dari rumah. Ia menemani Dhiya jalan kaki sampai menemukan angkutan umum. Kadang-kadang Dhiya menggendongnya sembari diajak ngobrol sepanjang perjalanan, kemudian dilepas lagi saat sampai di tempat angkot biasa lewat.
Supir angkot sering tertawa geli melihat tingkat Dhiya yang suka melambaikan tangan ke arah Minow.
"Itu kucingnya nanti pulang ke rumah sendiri ya, Mbak?"
"Iya, Pak. Pastilah dia tahu jalan pulang."
"Dia kayaknya sayang banget sama Mbak. Kucing yang kayak gitu langka. Biasanya mendatangkan rizki, Mbak."
"Aamiin. Hehe."
Di tengah perjalanan, seorang penumpang laki-laki dengan rambut yang tampak memutih seluruhnya naik perlahan dengan tubuh ringkih dan duduk di depan Dhiya. Gadis itu tiba-tiba teringat sang ayah melihat kerutan wajah orang tersebut.
Beberapa saat kemudian, bapak berusia sekitar 65 tahun itu turun di pasar seraya menyodorkan selembar uang lima ribu rupiah. Namun, Dhiya telah lebih dulu memberikan selembar uang sepuluh ribuan kepada supir angkot.
"Ini ongkosnya, Pak. Uangnya dibawa saja ya. Nanti buat ongkos pulang."
Ta ... pi ... Nak,"
"Nggak apa-apa. Hati-hati di jalan ya, Pak."
Bapak itu mengangguk pelan sambil tersenyum simpul kepada Dhiya sebagai ucapan terima kasih.
"Mbak tahu kalau bapak itu non muslim?"
"Tahu kok,"
"Kenapa mbak mau ongkosin?"
"Kalau memang niat menolong orang, kan nggak perlu pakai bertanya dulu sama orang yang mau ditolong, apa agamanya, apa sukunya, apa negaranya. Jika ikhlas, menolong itu tak harus pandang bulu. Bahkan jika orang yang pernah menjahati kita minta pertolongan, seandainya kita bisa tolong dan tidak memberatkan kita, nggak ada salahnya kan kalau kita tolong? Siapa tahu nanti dengan begitu mereka bisa sadar dan tidak jahat lagi."
"He he. Iya, Mbak. Benar banget. Tapi emang berat sih punya hati seperti itu. Ringan di bibir berat di hati."
"Pinterrrr. Hehe."
Sampai di persimpangan jalan kantor, Dhiya turun dan jalan kaki 20 meter dulu baru sampai di halaman kantor. Tempat itu masih tampak lengang. Karena memang Dhiya orang nomor dua yang tiba di kantor setelah security.
Risna Adaminata
(Foto : dok. Pribadi)
No comments:
Post a Comment